Twitter

Catatan yang mengisahkan sejarah nagari Saniangbaka sangat sedikit ditemukan. Dalam banyak tambo dan buku-buku yang berkaitan dengan Minangkabau, tidak banyak yang mencatat sejarah ini. Salah satu yang memuat sejarah Saniangbaka adalah dalam Mahmoed (1978). Disebutlah suatu masa Datuk Katumenggungan mendirikan sebuah kerajaan bernama Bungo Setangkai yang berpusat di Sungai Tarab. Mula-mula perkembangan kerajaan ini adalah membuat kubu pertahanan kerajaan dan untuk membuat lingkaran pertahanan ini Datuk Katumenggungan menugaskan seorang hububalang pemberani dari Pariangan Padang Panjang untuk menjadi kepala pertahanan. Hulubalang ini kemudian ditugaskan untuk membuat pertahanan kerajaan, yang mula-mula membuat sebuah nagari bernama Batipuh. Setelah Batipuh, kemudian hulubalang ini membuat 10 koto yaitu bentuk suatu daerah, sebelum menjadi nagari, yang penduduknya sudah banyak meski tinggal berjauhan tetapi sudah mulai berinteraksi secara intensif di suatu tempat. Koto-koto tersebut terdiri dari Paninjauan, Gunung, Jao, Tambangan, Singgalang, Pandai Sikek, Koto Laweh, Koto Baru, Aia Angek, Panyalaian. Setelah kesepuluh koto itu selesai, hulubalang tersebut membuat kubu pertahanan ke arah timur dengan 10 daerah pula yaitu Sungai Jambu, Labuatan, Simawang, Bukit Kandung, Sulit Aie, Tanjung Balit, Singkarak, Saniangbaka, Silungkang dan Padang Sibusuk (Mahmoed, 1978:37-38). 

Pada masa kerajaan Pagaruyung, kesepuluh daerah pertahanan yang ada di timur ini menjadi bagian dari langgam nan tujuah. 
 
Langgam nan tujuah merupakan sebutan bagi tujuh pihak yang membantu pelaksanaan pemerintahan kerajaan pagaruyung di bawah kepemimpinan Raja Alam. Adapun langgam nan tujuah ini terdiri dari:
  1. Pamuncak Koto Piliang, berkedudukan di Sungai Tarab, sebagai pimpinan.
  2. Harimau Campo Koto Piliang, berkedudukan di Batipuh, sebagai panglima perang.
  3. Pardamaian Koto Piliang, berkedudukan di Simawang dan Bukit Kandung, sebagai pendamai nagari-nagari yang bersengketa.
  4. Pasak Kungkung Koto Piliang, berkedudukan di Sungai Jambu dan Labuatan.
  5. Carmin Taruih Koto Piliang, berkedudukan di Saniangbaka dan Singkarak, sebagai badan penyidik.
  6. Cumati Koto Piliang, berkedudukan di Sulit Aie dan Tanjung Balit, sebagai pelaksana hukuman.
  7. Gajah Tonggak Koto Piliang, berkedudukan di Silungkang dan Padang sibusuk, sebagai kurir (Navis, 1984: 57-58; baca juga Mahmoed, 1978: 52-60).
Dalam langgam nan tujuah Saniangbaka merupakan carmin taruih koto piliang. Menurut salah seorang tukang dendang di Saniangbaka, arti carmin taruih Koto Piliang dapat dilihat secara harfiah dari kata-katanya, yaitu carmin yang berarti cermin. Cermin biasanya memberikan pandangan tentang sesuatu. Carmin taruih Koto Piliang bisa jadi berfungsi sebagai tempat yang dijadikan pandangan/contoh nagari lain tentang pelaksanaan kelarasan Koto Piliang. Sementara itu, menurut salah seorang penghulu yang juga tokoh Kerapatan Adat Nagari adalah sebagai berikut: 

"Mangko Saniangbaka ko tasabuik carmin taruih Koto Piliang, baduo itu, sorang orang Singkarak, sorang orang Saniangbaka, diagiah pangkat artinyo kadudukannyo sebagai carmin taruih Koto Piliang. Tugasnyo apobilo ado persengketaan di Pagaruyuang, di Pariangan Padang Panjang, ndak ado penyelesaiannyo, mangko dihimbaulah urang nan baduo ko, artinyo inyo lah nan maagiah carmin, pengarahan. Jadi orang nan basangketo, nan basalisiah nan ndak kunjung dapek perdamaian, nah dari 2 urang nan pai ka Pagaruyuang ko nan maagiah carmin atau pedoman."
"Sebab Saniangbaka disebut Cermin terus Koto Piliang, (yang) berdua itu, seorang (dari) Singkarak, seorang (dari) Saniangbaka, diberi pangkat artinya kedudukannya sebagai cermin terus Koto Piliang. Tugasnya apabila terjadi persengketaan di Pagaruyuang, di Pariangan Padang Panjang, (dan) tidak ada yang bisa menyelesaikan, maka dipanggilah orang yang berdua tadi. Artinya ialah orang yang memberi cermin, pengarahan. Jadi orang yang bersengketa, yang berselisih tidak kunjung mendapatkan perdamaian, dari dua orang tersebut lah yang akan memberi cermin atau pedoman".

Adapun dari daerah pertahanan hingga membentuk sebuah nagari, Saniangbaka mengalami proses yang panjang. Nagari itu sendiri tumbuh mulai dari Taratak. Kata Taratak konon berasal dari tatak, artinya menandai batas-batas pada tebangan kayu dalam membuka lahan oleh seorang yang dibantu oleh anak-anaknya atau berkelompok tiga atau lima orang. Pada lahan yang telah ditatak (ditandai) itu mereka membangun pondok untuk tempat berteduh atau tinggal. Kemudian datang lagi kelompok lain dengan maksud yang sama yaitu untuk membuka peladangan. Kemudian setelah beberapa taratak terbuka dengan pondok-pondok atau rumah-rumah kecil, maka berdirilah dusun ditempat tersebut. Dari beberapa taratak yang lain berdiri pula dusun sehingga menjadi beberapa dusun. Setelah penduduk dusun tersebut menjadi ramai, maka berdirilah koto. Ada yang mengatakan koto mulanya berarti sebuah tempat yang dipagari dengan tanaman aur (bambu) serta parit, tetapi kemudian tempat tersebut menjadi area tempat bermain anak-anak atau tempat berkumpul melepas lelas penduduk setempat. Seiring waktu, tempat tersebut menjadi tempat bertemu antar penduduk, tempat berbincang-bincang dan semacamnya. Dari berbagai perbincangan dan perundingan beberapa anggota dusun maka bersepakatlah untuk membuat suatu nagari (Rais, 2003: xxiii-xxiv; baca juga Suarman, 2000:52-57; Amir MS, 1997 ). 

Ini sesuai dengan informasi yang di sampaikan salah seorang tokoh penghulu Saniangbaka, yaitu sebagai berikut: 

"Datanglah orang-orang baik melalui bukik, nyebrang danau jo sampan, tibo disiko nyo marambah. Nah itu namonyo Taratak. Itu memakan wakatu puluhan taun, Piak. Sudahlah salasai Taratak, makonyo banamo susun atau dusun, artinyo mulailah tasusun. Iko lah buek pondok, iko lah buek pondok, iko pondok (sambil menunjukkan pola sejajar dengan tangan). Mulai tasusun memakan wakatu nan panjang pulo, puluhan taun, menjadi koto. jadi Taratak-susun-koto. Koto ko lah mulai orang nan penghuni ko bakato-kato. Koto itu artinyo mulai berkato-kato atau berbincang baa kito, iko lah bakambang lo, lah ado rumah.
Salasai Taratak, lah salasai susun, lah salasai koto, meningkatlah jadi nagari. A..jadi nagari dibuek lah balai-balai, sudah tu dibangunlah surau namonyo, masajik kecek urang. Jadi kok lah sah nagari ko, ado balai-balai, ado musajik, ado basuku, batungganai rumah, ado bapandam pakuburan"

Datanglah orang-orang baik melalui bukit, menyeberangi danau dengan sampan. Sesampainya disini, mereka merambah (hutan). Nah, itu yang dinamakan Taratak. (Proses) itu memakan waktu puluhan tahun, piak. Sesudah selesai Taratak, maka bernama susun atau dusun, artinya mulailah tersusun. (Yang) ini telah membuat pondok, (yang) ini telah membuat pondok, ini telah membuat pondok (sambil menunjukkan pola sejajar dengan tangan). Mulai tersusun memakan waktu yang panjang pula, puluhan tahun, menjadi koto. Jadi Taratak-Dusun-Koto. (Saat menjadi) Koto ini mulailah penghuninya berkata-kata atau berbincang-bincang, bagaimana kita, ini sudah berkembang, sudah ada rumah. Setelah taratak, setelah susun, setelah koto, meningkatlah nagari. Aa..jadi nagari dibuat balai-balai, sesudah itu dibagunlah surau namanya, kata orang mesjid. Jadi kalau sudah syah menjadi nagari, ada balai adat, ada mesjid, ada bersuku, ber-tungganai rumah, ada ber-pandam pekuburan. 
Dari informasi yang didapat dari beberapa informan di Nagari Saniangbaka, terdapat beberapa versi sejarah penamaan nagari ini. Dari beberapa versi yang berkembang, dari tiga versi cerita terdapat satu kesamaan yaitu bahwa kemunculan nama Saniangbaka adalah saat para penghulu ini berunding untuk menentukan nama yang akan dipakai oleh nagari, nama tersebut merujuk pada saat nagari ini masih di taruko, yaitu pada masa masih berbentuk taratak. Berikut tiga versi tersebut:
  1. Versi "si Saniang nan tabaka"
Menurut informasi yang didapat dari Nadir Pono Sutan (60) dan YF Rajo Mangkuto (29), Nama Saniangbaka berasal dari peristiwa terbakarnya si Saniang ketika dia dibawa orang tuanya merambah hutan untuk membuka nagari tersebut. Diceritakan bahwa ketika orang tua si Saniang merambah hutan, mereka menumpuk hasil rambahan di suatu tempat yang ternyata berdekatan dengan tempat mereka meletakan Saniang, anak mereka. Ketika tumpukan hasil rambahan telah banyak, mereka membakarnya. Namun karena dekat dengan tempat si Saniang ditidurkan, api menjalar membakar si Saniang. Orang tua si Saniang pun panik dan berteriak, "si Saniang tabaka!!! Si Saniang tabaka!!". Meski tidak terdapat kejelasan tentang terbakarnya si saniang ini, sejak saat itu tempat yang dirambah tersebut dinamai Saniang tabaka yang lama-kelamaan menjadi Saniangbaka.
  1. Versi "si Saniang mambaka"
Sementara itu menurut informan lain menyebutkan nama Saniangbaka muncul karena orang yang dari jauh melihat asap pembakaran hasil rambahan si Saniang. Seperti yang di sampaikan oleh salah seorang penghulu Saniangbaka:

"jadi dahulu Saniangbaka ko ado mempunyai sejarah khas. Nan patamo Saniangbaka ko ado dahulu nan banamo Taratak, arti Taratak orang-orang mulai marambah untuk nak mambuek nagari. Itu nyo hanyo berapo kaum dulu nan datang ka ranah ko dari Pariangan. Nah nampak Saniangbaka ko marangah dek inyo. Kito kinlah, rancak sinan kito buek nagari. Yo datanglah nyo kamari ado nan dari Simawang, Kacang, Tikalak. Iko nan tertinggi sinan. Jadi datanglah kamari. Jadi nampaklah seseorang nan lah memanggang artinya membakar rambahan atau nan dirambahnyo, kayu lah masik di panggangnyo, nampaklah asok: 'ah, tu, si Saniang lah mambaka'. Jadi manuruik sejarahnyo nan mulai mambaka rambahan ko si Saniang namonyo.
Saat perundingan datuk nan salapan saat akan menamai nagari ini, ada salah seorang datuk yang mengusulkan
"Manuruik nan didanga dek awak, mulo-mulo nan marambah nagari ko si Saniang ah, nan inyo lo nan mulo-mulo mambaka di nagari ko, mangkasuiknyo mambaka rambahannyo nan lah masik, kalo kito buek namo Saniangbaka baa? maka jadilah Saniangbaka"

Jadi dahulu Saniangbaka ini ada mempunyai sejarah khas. Yang pertama Saniangbaka ini ada dahulu bernama Taratak, arti taratak orang-orang mulai merambah untuk membuat nagari. (Pada saat) itu beberapa kaum yang datang dari Pariangan Padang Panjang. Nah, terlihat Saniangbaka ini meranggas oleh mereka. "Kita ke sana lah, baik disana kita buat nagari". Yaa, datanglah mereka ke sini. Ada yang dari Simawang, Kacang, Tikalak. Ini yang tertinggi di sana. Jadi datanglah ke sini. Jadi terlihat seseorang yang telah membakar, artinya membakar rambahan atau yang dirambahnya. Kayu telah kering dibakarnya, terlihatlah asap, "ah, tu si Saniang telah mebakar". Jadi menurut sejarangnya, yang memulai membakar rambahan ini si Saniang namanya. (Pada) saat perundingan Datuak nan Salapan, saat akan memberi nama Nagari ini, ada salah seorang Datuak yang mengusulkan, "Menurut yang didengar oleh kita, mula-mula yang merambah nagari ini (yaitu) si Saniang. Ah, dia juga yang mula-mula membakar (lahan) nagari ini - maksudnya membakar rambahannya yang sudah kering. Bagaimana kalau kita buat nama nagari ini Saniangbaka?? Maka jadilah (nama nagari ini) Saniangbaka"
  1. Versi Sandiang nan tabaka.
Versi ini menyebutkan bahwa munculnya nama Saniangbaka adalah karena saat daerah ini mulai dirambah, dari jauh yaitu dari Pariangan Padang Panjang nampak ada sandiang atau sudut antara dua bukit yang terbakar.

Sementara itu satu versi sejarah Saniangbaka yang sama sekali berlainan dari tiga versi sebelumnya berpatokan pada arti kata Saniangbaka secara harfiah, kemudian dicari makna yang terkandung di dalamnya. Ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh beberapa informan yaitu salah seorang tukang dendang, salah seorang penghulu Balai Mansiang dan salah seorang warga yang merupakan kemenakan si saniang yang intinya sama, yaitu sebagai berikut:

"Indak ka mungkin Saniangbaka ko asalnyo dari kato si Saniang nan tabaka. Tabaka, istilah minang yang dipakai untuak marujuak ka membakar adalah mamanggang indak mambaka, mambaka itu asalnyo dari bahasa Indonesia nan di minangkan. Membakar-mambaka, itu kini. Kok tabaka nan dipakai wakatu nagari kok ka dibuka, berarti Saniangbaka ko baru ado setelah bahasa Indonesia jadi bahasa nasional, kan? Sementaro, dalam tambo Minangkabau jo cerita dari nan gaek-gaek, nagari ko lah ado sejak 5-6 abad nan lalu. Baa, ndak ado kolerasinyo, kan?"
"tapi kok awak caliak dalam bahasa minang, baka itu bisa jadi artinyo bekal. Sementaro Saniangnyo sendiri asalnyo dari kato sahaniang, yaitu ciek tempat yang sunyi. Jadi Saniangbaka ko maknanyo ciek tempat sunyi nan bisa dijadikan untuk mencari bekal hiduik. Baa model itu? Iko arek kaitannyo jo langgam nan tujuah, bahwa nagari ko dijadian carmin taruih Koto Piliang."

"Tidak mungkin Saniangbaka ini asalnya dari kata si Saniang yang tabaka. Tabaka, istilah Minang yang digunakan untuk merujuk kata membakar adalah mamanggang, bukan membakar. Membakar itu asalnya dari bahasa Indonesia yang di-Minang-kan. (kata) membakar - mambaka itu (digunakan) sekarang. Kalau tabaka yang digunakan waktu nagari ini dibuka, berarti Saniangbaka ini baru ada setelah Bahasa Indonesia jadi bahasa nasional kan ?? Sementara dalam tambo Minangbakau ditambah cerita dari orang tua, nagari ini telah ada sejak 5-6 abad yang lalu. Bagaimana, tidak ada korelasi nya kan ?"
"Tapi kalau kita lihat dalam bahasa Minang, baka itu bisa jadi artinya bekal. Sementara Saniang sendiri asalnya dari kata Sahaniang, yaitu satu tempat yang sunyi. Jadi Saniangbaka ini maknanya (adalah) satu tempat sunyi yang bisa dijadikan untuk mencari bekal hidup. Kenapa seperti itu ? ini erat kaitannya dengan langgan nan tujuah, bahwa nagari ini dijadikan carmin taruih Koto Piliang."

Painan memang hanya sebuah lekuk. Sekitar tahun 1700-an pelaut-pelaut Bugis banyak berdatangan ke sini. Bermukim, menciptakan hidup. Ada beberapa yang kimpoi dengan penduduk asli. Di Painan akan kita temukan beberapa orang peranakannya.

Mungkin saja. Karena Painan-dan beberapa kota kecil lain di Pesisir itu seperti Salido dan Indrapura yang terletak lebih ke selatan memang terkenal sebagai Bandar-bandar transit sejak dahulu. Di lepas
pantai Samudra Hindia, di pulau cingkuk misalnya ada berdiri sebuah benteng Belanda.

Pelaut-pelaut Bugis yang datang ke situ punya kapal-kapal besar, bagan dan pukat yang lebih mutakhir. Nelayan-nelayan pribumi kalah saing. Dan di sekitar tahun 70-an itu pelaut-peluat Bugis yang terkenal handal itu mulai menyusut kehadirannya di kota kecil itu.
Dan bahkan mulai terkikis habis. Entah peristiwa apa yang menyertainya. Beberapa orang mencatat, ada bentrok terjadi. Kapal-kapal Bugis dibakar penduduk asli di lepas pantai.

Walaupun begitu, Painan tetap menawan dengan alamnya yang elok. Tapi Painan, kota kecil yang menawan itu, acap tak banyak memberi peruntungan. Seperti daerah lain di ranah ini banyak orang yang bertolak. Meninggalkan keindahan dan keelokan itu. Seperti sajak Takdir, "aku tinggalkan tasik yang tenang tiada beriak".

Painan memang kota yang tenang. Ombak pantainya lembut tak berdebur
seperti ombak Pantai Purus. Mungkin lebih tepatnya kota ini lamban.
Ia mendekati kota mati. Di hari sabtu, kota ini akan tambah sepi.
Anak-anak sekolah biasanya telah pulang ke daerah-daerah pinggiran
painan. ke Bayang, Tarusan, Batangkapeh, Kambang, Belaisalasa, ...

Menurut tukang kaba, sebutan dalam bahasa Minangkabau bagi penutur cerita, dalam salah satu tambo-cerita historis tentang asal-usul dan silsilah nenek moyang orang Minangkabau di Sumatera Barat terdapat sebuah kerajaan Pariangan yang dipimpin oleh Datuak Bandaro Kayo. Ia memiliki saudara seayah bernama Datuak Ketumanggungan dan Datuak Perpatih Nan Sabatang. Suatu hari, kedua saudara ini bertemu Datuak Bandaryo Kayo guna membicarakan masalah kepadatan penduduk di kerajaantersebut. Dalam pertemuan itu disepakati untuk memindahkan sebagian penduduk kerajaan ke daerah permukiman baru.

Setelah mengetahui daerah-daerah yang akan dijadikan permukiman baru, mulailah pemindahan sebagian penduduk ke tiga arah yakni Utara, Barat, dan Timur. Daerah permukiman baru di sebelah Barat kemudian diberi nama Luhak (daerah) Agam. Daerah sebelah Timur dinamakan Luhak Tanah Datar. Sementara itu, Datuak Sri Maharajo Nan Banego memimpin 50 orang menuju ke arah utara, daerah Payakumbuh. Tempat ini kemudian dikenal dengan nama Luhak 50 koto.

Di akhir abad ke 19 seorang pejabat bangsa Belanda pernah menuliskan laporan perjalanannya ke salah satu daerah Pasaman yakni Mapat Tunggul. Dengan gaya bahasanya yang khas ala Belanda dia memulai tulisan laporan tersebut dengan menyuguhkan keadaan alamnya, Pada awalnya daerah tersebut terdiri dari bebukitan yang terbesar tidak ditumbuhi oleh apapun selain ilalang, perbukitan lainnya ditumbuhi hutan. 
Orang dapat menjumpai pohon-pohon yang berat yang tumbuh pada dasar kemerah-merahan, akar-akarnya yang lembab menjalar menghunjam dalam ke jantung bumi, dan memanjat batu-batu kapur serta melekat ke bebatuan yang entah dari jenis apa ; belantara yang tidak dapat ditembus, siapa yang hidup disana, jadi tidak ada tangan manusia yang merintangi pekerjaan alam selama berabad-abad. Lereng-lereng bukit yang bersemak-belukar, yang menunjukkan bahwa orang -orang disana masih belum jauh-jauh mencari makanan mereka, begitulah laporan yang ditulis oleh J.B.Neeumann, setelah ia menjelajahi daerah tersebut.


Mungkin sebagian kita tidak pernah mengira bahwa Pasaman khususnya Rao pernah jadi tambang emas terbesar di daerah Sumatra Westkus pada zaman Belanda. Dobbin menceritakan dalam karyanya Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani Yang Sedang Berubah, Sumatera Tengah 1784-1847. Keuntungan yang menumpuk pada tua tambang dilukiskan pada tahun 1838 dalam hubungan dengan penggalian kecil dalam tanah luapan banjir di dekat Rao di sebelah utara rantau Minangkabau. Ditempat ini keadaan para pekerjanya jauh lebih baik dari pada pekerja tambang.

Orang-orang yang mencari emas atau pekerja tambang juga dianggap memiliki kekuatan istimewa. Roh-roh yang mendiami tambang emas harus diperlakukan dengan hati hati sekali, dan para pencari emas membentuk suatu perserikatan dan hanya anggota perserikatan yang mengetahui tanda-tanda rahasia emas dan bisa mengucapkan jampi-jampi yang diperlukan untuk berhasilnya upaya penambangan.


Bendera Inggris dinaikkan di Natal pada tahun 1751 oleh para pegawai East India Campany yang berkedudukan di Bengkulen. Dalam usaha untuk mengalahkan pemukiman Belanda di Padang, perdagangan dinyatakan bebas sama sekali dan perdagangan di Natal mendapat dukungan resmi dari Madras. Pada kahir tahun 1750-an perdagangan berkembang seperti belum pernah terjadi sebelumnya ; orang-orang Inggris bersedia membayar lebih tinggi untuk emas Rao daripada Belanda di Padang.


Mereka juga menjual tekstilnya dengan harga lebih murah, mereka tidak cerewet mengenai mutu kamper dan kemenyan yang mereka beli, dan mereka menyediakan garam, mata dagangan yang sangat penting dilembah-lembah dipedalaman tanah Batak dengan harga yang lebih murah daripada harga Batak.


Ujung tombak serangan Minangkabau atas orang-orang Batak adalah Lembah Rao, yang mengikuti Alahan Panjang menerima asas-asas Paderi. Rao memiliki tradisi hubungan yang lama dengan dunia Minangkabau lainnya, dan hasil alamnya membuat sejarah lembah itu berkembang mengikuti alur yang serupa dengan perkembangan daerah-daerah lain di Minangkabau.


Dengan mengabaikan lembah-lembah tertentu lebih selatan, Rao merupakan daerah pertambangan emas yang paling penting di Minangkabau sesudah Alahan Panjang. Perdagangan emas Rao sudah dikenal oleh pedangan-pedagang India sejak awala abad kedua sesudah Masehi. Dan kira-kira tahun 800 sesudah masehi orang-orang India mendirikan pemukiman, baik dilembah maupun di bagian atas sungai Kampar yang kemudian berkembang menjadi pangkalan hulu sungai yang khas untuk perdagangan emas dari Rao.


Pada abad ke 18 amas Rao belum habis dan tetap melancarkan jalannya pergadangan di Selat Malaka, karena perdagangan melalui Patapahan diSiak. Para pengamat Inggris di selat memperkirakan bahwa yang dieksport berjumlah besar, pada tahun 1826 Singapore Choronicle menetapkan nilai emas Rao antara 13.000 dan 14.000 dollar Spanyol per tahun, tetapi inipasti berlebihan. Pedagang emas Rao juga berdagang dipantai barat, dengan membawa emasnya ke Natal, Air Bangis, Pasaman, bahkan sampai jauh ke selatan ke Padang.


Tidak mengherankan, setelah Imam Bonjol menetapkan kekuasaannya di Lembah Alahan Panjang, dia memalingkan matanya ke utara kearah tetangganya yang kaya. Lembah yang panjang dan sempit disebelah lembah menampakkan kemakmuran yang cukup besar. Pada tahun 1830-an Lembah Raodiperkirakan berpenduduk sekitar 25.000 orang, terbagi dalam dua puluhdesa besar dengan dukuhdukuh satelitnya, semua terawat apik dan dikelilingi oleh sawah-sawah luas, kopi juga ditanam disitu .


Sistem politiknya serupa dengan daerah pingiran Minangkabau lainnya, tiap desa dihuni oleh sejumlah suku masing-masing dengan penghulunya, tetapi berlawanan dengan di pedalaman Minangkabau sebuah desa induk dengan anak huniannya juga membentuk semacam federasi dibawah seorang Raja. Dibagian utara lembah, tempat-tempat tambang emas utama di dekat-dekat Rao dan Padang Mantinggi adalah yang paling padat penduduknya, dan disini desa-desa mengakui salah satu rajanya sebagai Yang Dipertuan.

Kota padang dahulunya diperkirakan sebagai dataran atau padang yang luas dan mungkin dari sanalah asal usul nama padang tersebut. Di daerah ini telah bermukim banyak penduduk dengan pusat perkotaan pada saat itu berada di sekitar sungai batang harau. Awalnya wilayah ini merupakan salah satu territory Kerajaan Pagaruyung namun semenjak kedatangan VOC pada abad 17 maka kawasan tersebut tersebut berpindah tangan. Hal ini ditandai dengan dibangunnya loji pada tahun 1667 di sekitar kawasan yang sangat strategis untuk dijadikan pelabuhan kapal.

Dengan keberadaan loji serta aktivitas VOC membuat ruang lingkup penduduk asli mulai terdesak dan praktek penjajahan bangsa baratpun mulai dirasakan oleh masyarakat setempat. Maka pada tanggal 7 Agustus 1669 masyarakat pauah serta koto tangah sepakat untuk menyerang loji – loji Belanda tersebut.


Dengan semangat perjuangan dan persatuan yang tinggi maka daerah tersebut dapat dikuasai dan peristiwa ini diabadikan sebagai hari jadinya kota Padang.

Cikal bakal kota Bukittinggi dimulai dari sebuah pasar, yang didirikan dan dikelola oleh para penghulu Nagari Kurai. Pada awalnya Pasar itu diadakan setiap hari Sabtu, kemudian setelah semakin ramai diadakan pula setiap hari Rabu. Oleh karena pasar itu terletak di salah satu "bukik nan tatinggi" (bukit yang tertinggi), maka lama kelamaan berubah menjadi Bukittinggi. Akhirnya nama Bukittinggi itu pun digunakan untuk menyebut pasar, sekaligus masyarakat dan Nagari Kurai. Sebelum kedatangan Belanda di daerah Dataran Tinggi Agam (1823), pasar Bukittinggi telah ramai didatangi oleh pedagang dan penduduk sekitarnya.Pada tahun 1926 . 

Kapten Bauer, Kepala Opsir Militer Belanda untuk Dataran Tinggi Agam, mendirikan benteng Fort de Kock, di Bukit Jirek yang terletak sekitar 300 m di sebelah Utara pasar Bukittinggi. Kawasan bukit itu diberikan oleh para penghulu Nagari Kurai kepada Kapten Bauer dengan perjanjian akan saling membantu dalam mengahadap Kaum Paderi. Sejak berdirinya Fort de Kock dan Belanda berhasil mengalahkan Kaum Paderi serta menguasai Minangkabau, maka perkembangan Bukittinggi pada tahap selanjutnya lebih ditentukan oleh kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Secara perlahan pemerintah kolonial memperluas "wilayahnya" dengan meminjam atau membeli tanah kepada para penghulu Nagari Kurai. Bahkan, pada kasus-kasus tertentu, "kepemilikan" tanahnya itu ditentukan secara sepihak oleh Belanda. Pada tahun 1856 Belanda meminjam tanah perbukitan yang terletak disekitar pasar Bukittinggi dan jika nanti tidak diperlukan lagi, maka Belanda akan mengembalikannya kepada para penghulu Nagari Kurai. Tanah itu meliputi 7 (tujuh) bukit yang bertautan satu sama lainnya dan mempunyai lembah-lembah yang sempit. Ketujuh bukit itu adalah Bukit Jirek, Bukit Sarang Gagak, Bukit Tambun Tulang, Bukit Cubadak Bungkuak, Bukit Bulek, Bukit Malambuang, dan Bukit Parak Kopi. Di atas ketujuh bukit itulah, secara bertahap Belanda membangun berbagai infrastruktur untuk kepentingan kolonialnya, seperti kantor dan perumahan, gudang-gudang kopi, los-los pasar, perkampungan Cina, dan India. Akan tetapi, daerah itu tidak memiliki dataran yang luas untuk dijadikan berbagai keperluan militer. Oleh karena itu pada tahun 1861 Belanda membeli tanah dataran di bagian Selatan Bukittinggi dengan harga f.46 .090,-. Daerah itu dibangun untuk perkantoran militer, lapangan, perumahan perwira, asrama, tangsi, rumah sakit, gedung sekolah, dan sebagainya.

Mengikuti perkembangan pembangunan berbagai infrastruktur itu, maka kota Bukittinggi juga semakin berkembang dan maju. Oleh karena itu pada tahun 1888 pemerintah menetapkan sebagai sebuah "kota" dengan batas-batas sebagai berikut :


a. Sebelah Timur Laut dan sebelah Utara yaitu dari sebelah barat Bandar Malang melalui pancang (tiang) yang bertanda A pada jalan dekat Kuburan Cina lama dengan pancang bertanda I terletak di jalan ke Kampung Palupuh. Dan dari sini satu garis lurus lagi ke pancang (tiang) yang bertanda B yang terdapat pada jalan kecil kuburan Belanda baru.


b. Sebelah Barat Laut, sebelah Barat dan Tenggara ialah jalan kecil (kuburan Belanda baru) tersebut di atas sampai ke kuburan Belanda baru. Dari sini batas sebelah Barat Daya dari kuburan Belanda tersebut sampai ke pancang bertanda D berhubungan dengan sebuah pancang berhuruf E. Berikutnya lebih kurang 240 m jauhnya di sebelah Barat jalan ke arah Padangpanjang.


c. Sebelah Selatan, dari pancang F ditarik satu garis lurus ke arah timur sampai denga titik temunya jalan arah ke Padangpanjang.


d. Sebelah Timur, dari titik temu tersebut di atas mengaliri Bandar Malang yang terbagi dua: pada Bandar yang sebelah Barat sampai ke tempat pertemuan Bandar ini dengan jalan Payakumbuh. Pada tahun 1918 kota Bukittinggi ditetapkan statusnya sebagai sebuah Gemeente, Pada tahun 1930 wilayah Gemeente Bukittinggi diperluas lagi sehingga menjadi 5 , 2Km2.


Pariaman di zaman lampau merupakan daerah yang cukup dikenal oleh pedagang bangsa asing semenjak tahun 1500an. Catatan tertua tentang Pariaman ditemukan oleh Tomec Pires (1446-1524), seorang pelaut Portugis yang bekerja untuk kerajaan Portugis di Asia. Ia mencatat telah ada lalu lintas perdagangan antara India dengan Pariaman, Tiku dan Barus.

Dua tiga kapal Gujarat mengunjungi Pariaman setiap tahunnya membawa kain untuk penduduk asli dibarter dengan emas, gaharu, kapur barus, lilin dan madu. Pires juga menyebutkan bahwa Pariaman telah mengadakan perdagangan kuda yang dibawa dari Batak ke Tanah Sunda.


Kemudian, datang bangsa Perancis sekitar tahun 1527 dibawah komando seorang politikus dan pengusaha yakni Jean Ango. Ia mengirim 2 kapal dagang yang dipimpin oleh dua bersaudara yakni Jean dan Raoul Parmentier. Kedua kapal ini sempat memasuki lepas pantai Pariaman dan singgah di Tiku dan Indrapura. Tapi anak buahnya merana terserang penyakit, sehingga catatan dua bersaudara ini tidak banyak ditemukan.


Tanggal 21 November 1600 untuk pertama kali bangsa Belanda singgah di Tiku dan Pariaman, yaitu 2 kapal di bawah pimpinan Paulus van Cardeen yang berlayar dari utara (Aceh dan Pasaman) dan kemudian disusul oleh kapal Belanda lainnya. Cornelis de Houtman yang sampai di Sunda Kelapa tahun 1596 juga melewati perairan Pariaman.


Tahun 1686, orang Pariaman (Pryaman seperti yang tertulis dalam catatan W. Marsden) mulai berhubungan dengan Inggris.


Sebagai daerah yang terletak di pinggir pantai, Pariaman sudah menjadi tujuan perdagangan dan rebutan bangsa asing yang melakukan pelayaran kapal laut beberapa abad silam. Pelabuhan entreport Pariaman saat itu sangat maju. Namun seiring dengan perjalanan masa pelabuhan ini semakin sepi karena salah satu penyebabnya adalah dimulainya pembangunan jalan kereta api dari Padang ke Pariaman pada tahun 1908.

Luhak Tanah datar di sebut juga Luhak nan Tuo karena Luhak ini adalah Luhak yang mula-mula ada di Minangkabau. Ungkapan untuk Luhak ini “buminyo Lembang, aienyo tawa, ikannyo banyak”, ini menggambarkan masyarakat yang ramai, statusnya tidak merata.

Asal usul Luhak tanah Datar:


Dahulu kala, ketika nenek moyang orang Minangkabau masih tinggal di puncak gunung Merapi, ada tiga sumur (Luhak). Salah satu dari ketiga sumur itu ada terletak di tanah yang datar. Orang yang biasa minum dari sumur tersebut pindah ke suatu tempat, yang kemudian dinamakan Luhak Tanah Datar, sesuai dengan sumur mereka.


Nenek moyang orang Minangkabau pertama-tama membuat nagari di Pariangan Padang Panjang. Lama kelamaan Nagari itu tersa sempit karena pendudukbertambah, dan akhirnya mereka mencari daerah baru. Salah satu daerah itu adalah daerah yang tidak datar. Tanahnya berbukit-bukit dan berlembah-lembah. Nama tempat itu mereka tetapkan sesuai dengan kondisi daerahnya, Yakni Luhak Tanah Datar. Luhak disini mengadung makna menjadi daerah yang tanahnya kurang datar.


Nagari-nagari yang termasuk Luhak Tanah Datar:


1. Tampuak Tangkai Pariangan Salapan Koto (Pariangan, Padang Panjang, Guguak, Sikaladi, Koto Tuo, Tanjuang Limau, Sialahan, Batu Baso)


2. Tujuah Langgam di Hilie (Turawan, Padang Lua, Padang Magek, Sawah Kareh, Kinawai, Balimbiang, Bukik Tamusu)


3. Limo Kaum Duo Baleh Koto (Dusun Tuo, Balah Labuah, Balai Batu, Kubu Rajo, Piliang, Ngungun, Silabuek Ampalu, Parambahan, Cubadak, Supanjang, Sawah Jauah, Rambatan, Tabek Sawah Tangah)


4. Sambilan Koto di dalam (Tabek Boto, Salagondo, Koto, Baranjak, Latai Batu, Bukik Gombak, Sungai Ameh, Ambacang Baririk, Rajo Dani)


5. Tanjuang nan Tigo, Lubuek nan Tigo (Tanjuang Alam, Tanjuang Sungayang, Tanjuang Barulak, Lubuek Sikarah, Lubuek Simauang, Lubuek Sipurai)


6. Sungai Tarab Tujuah Batu (Limo Batu, Tigo Batu, Ikua Kapalo Kapak, Randai Gombak Katitiran, Koto Tuo Pasia Laweh, Koto Baru, Rao-rao, Salo Patie Sumaniak, Supayang, Situmbuak, Gurun Ampalu, Sijangek Koto Badampiang)


7. Langgam nan Tujuah (Labutan, Sungai Jambu, Batipuah Nagari Gadang, Tanjuang Baliak, Sulik Aie, Singkarak, Saniang Baka, Silungkang, Padang Sibusuak, Sumani, Saruaso)


8. Batipuah Sapuluah Koto (Batipuah, Koto Baru Aie Angek, Koto Laweh, Pandai Sikek, Panyalaian, Bukik Saruangan, Gunuang, Paninjauan, Jaho Tambangan, Pitalah, Bungo Tanjuang, Sumpua, Malalo, Singgalang)


9. Lintau Buo sambilan Koto (Batu Bulek, Balai Tangah, Tanjuang Bonai, Tapi Selo, Lubuek Jantan, Buo, Pangian, Taluek Tigo Jangko)


Sebuah rumah gadang tidak lengkap apabila didepannya tidak ada rangkiang. Sebuah rumah gadang dengan rangkiang didepannya menambah keanggunan rumah gadang tersebut. Jadi dari segi artistik menambah keindahan dan semaraknya rumah gadang bila rangkiang ada didepannya. Namun lebih dari itu rangkiang mempunyai arti yang lebih dalam lagi, bila dikaitkan    dengan falsafah hidup dan kehidupan orang Minangkabau.

Dari segi ekonomi menunjukkan bahwa penghuni rumah gadang berada dalam kecukupan dari segi material. Rangkiang adalah bangunan untuk menyimpan padi. Tempat menyimpan padi yang lain yaitu lumbuang dan kapuak namun tidak terletak didepan rumah gadang. Bangunan rangkiang sesuai dengan gaya bangunan rumah gadang yaitu beratap ijuk dan diberi bergonjong, malahan ada pula yang diberi ukiran. Tiang penyangganya sama tinggi dengan tiang  rumah

gadang, bentuknya ramping, besar keatas, dan lebih kecil kebawah. Untuk memasukkan padi atau mengambilnya dipergunakan tangga, sebab pintu rangkiang ini terletak pada bagian atas. Tangga yang dipergunakan bisa dipindah-pindahkan dengan demikian tangga tidak menyatu dengan bangunan rangkiang. Bila sudah dipergunkan tangga tadi lalu disimpan didalam kandang rumah gadang.

Di Minangkabau nama rangkiang bermacam-macam sesuai dengan kegunaan dari padi yang disimpan dalam rangkaian tsb. Dari literatur yang dikumpulkan memberi keterangan sbb:
 
H. Djafri Dt. Lubuk Sati Dsn, mengemukakan ada sembilan macam rangkiang.

1.Sitinjau Lauik atau kapuak adat jo pusako. Kegunaannya untuk hal-hal yang berkaitan dengan  acara adat, spt mendirikan penghulu, kematian dll.

2.Mandah Pahlawan atau kapuak tuhuak parang. Kegunaannya untuk makanan bagi orang-orang yang mempertahankan  kampung halaman dari musuh yang datang

3.Harimau Paunyi Koto atau kapuak pembangunan nagari. Untuk membangun nagari dana dapat diambil  dari rangkiang ini.

4.Sibayau-bayau disebut juga kapuak salang tenggang. Kegunaannya untuk membantu orang-orang yang  sedang dalam kesempitan.

5.Sitangka lapa atau  kapuak gantuang tungku. Isi rangkiang ini dipergunakan bila terjadi paceklik.

6.Galuang bulek basandiang atau kapuak abuan penghulu. Kegunaannya untuk penghulu yang ada dalam kaum tsb. Untuk menjalankan tugasnya sehari-hari ada jaminan ekonominya.

7.Garuik Simajo Labieh atau kapuak abuan sumando. Orang sumando juga mempunyai abuan untuk kepentingan  anak isterinya.

8.Gadang Bapantang Luak, kegunaannya untuk makanan harian anggota keluarga rumah gadang.

9.Kaciak Simajo Kayo atau kapuak abuan rang mudo. Kegunaannya untuk anak muda yang ada dalam rumah gadang seperti untuk keperluan kimpoi maka dia membutuhkan sesuatu dan  biayanya diambil dari rangkiang ini.
 
A.A. Navis dalam bukunya "Alam Terkembang Jadi Guru". Ada empat jenis rangkiang yaitu    :

1.Sitinjau Lauik, yaitu tempat penyimpan padi yang akan digunakan untuk membeli barang atau keperluan rumah tangga yang tidak dapat dibikin sendiri. Tipenya lebih langsing dari yang lain, berdiri diatas empat tiang. Letaknya ditengah diantara rangkiang yang  lain.

2.Si bayau-bayau, yaitu tempat menyimpan padi yang akan digunakan untuk makan sehari-hari. Tipenya gemuk dan berdiri diatas empat tiangnya. Letaknya disebelah kanan.

3.Si tangguang lapa, tempat menyimpan padi cadangan yang akan digunakan pada musim paceklik. Tipenya persegi dan berdiri diatas empat tiangnya.

4.Rangkiang kaciak, yaitu tempat menyimpan padi abuan yang akan digunakan untuk benih dan biaya mengerjakan sawah pada musim berikutnya. Atapnya tidak bergonjong dan bangunannya lebih kecil dan rendah. Adakalanya berukuran bundar.

Dari literatur yang telah dikemukakan diatas terdapat adanya variasi dalam mengungkapkan istilah dan pengertian rangkiang. Namun demikian adanya kesamaan dan fundamental dalam arti dan fungsi rangkiang bagi orang Minangkabau. kesamaan itu adalah sbb:


Rangkiang mencerminkan kesejahteraan ekonomi orang Minangkabau pada masa dahulu.    Tanpa ekonomi yang sejahtera dan berkecukupan tidak mungkin adanya istilah-istilah    mengenai fungsi dari rangkiang tsb.

Rangkiang juga memperlihatkan keadailan sosial yang dimiliki oleh orang Minangkabau. Mereka tidak mementingkan diri sendiri tetapi juga memikirkan orang lain yang perlu dibantu. Hati tungau samo dicacah, hati gajah samo dilapah; indak samo dicari, ado samo dimakan. Hal ini terlihat dengan adanya fungsi rangkiang sebagai tempat selang tenggang bagi orang yang dalam kesulitan ekonomi.

Rangkiang juga memberikan gambaran, bahwa orang Minangkabau ada memikirkan masa depan ekonominya. Hal ini adanya rangkiang yang isinya untuk abuan, untuk benih dan untuk menghadapi musim paceklik.


Walaupun ada berbagai nama rangkiang dengan berbagai fungsinya, namun biasanya    terdapat tiga rangkiang didepan rumah gadang yaitu si Bayau-Bayau, si Tinjau    Lauik dan si tangka Lapa.

1.BATAGAK  PANGHULU

Batagak panghulu adalah upacara pengangkatan panghulu. Sebelum upacara peresmiannya,  syarat-syarat berikut harus dipenuhi:

1. Baniah, yaitu menentukan calon penghulu baru.
2. Dituah cilakoi, yaitu diperbincangkan baik buruknya calon dalam sebuah rapat.
3. Panyarahan baniah, yaitu penyerahan calon penghulu baru.
4. Manakok ari, yaitu perencanaan kapan acara peresmiannya akan dilangsungkan.

Peresmian pengangkatan panghulu dilaksanakan dengan upacara    adat. Upacara ini disebut malewakan gala. Hari pertama adalah batagak gadang,    yakni upacara peresmian di rumah gadang yang dihadiri urang nan ampek jinih    dan pemuka masyarakat. Panghulu baru menyampaikan pidato. Lalu panghulu tertua    memasangkan deta dan menyisipkan sebilah keris tanda serah terima jabatan. Akhirnya    panghulu baru diambil sumpahnya, dan ditutup dengan doa. Hari kedua adalah hari    perjamuan. Hari berikutnya panghulu baru diarak ke rumah bakonya diringi bunyi-bunyian.
 
2.UPACARA PERKAWINAN (Baralek)
1. Pinang-Maminang
Acara ini diprakarsai pihak perempuan. Bila calon suami untuk si gadis sudah    ditemukan, dimulailah perundingan para kerabat untuk membicarakan calon itu.    Pinangan dilakukan oleh utusan yang dipimpin mamak si gadis. Jika pinangan diterima,    perkawinan bisa dilangsungkan.
 
2. Batimbang Tando
Batimbang tando adalah upacara pertunangan. Saat itu dilakukan pertukaran tanda    bahwa mereka telah berjanji menjodohkan anak kamanakan mereka. Setelah pertunangan    barulah dimulai perundingan pernikahan.
 
3. Malam Bainai
Bainai adalah memerahkan kuku pengantin dengan daun pacar/inai yang telah dilumatkan.    Yang diinai adalah keduapuluh kuku jari. Acara ini dilaksanakan di rumah anak    daro (pengantin wanita) beberapa hari sebelum hari pernikahan. Acara ini semata-mata    dihadiri perempuan dari kedua belah pihak.
 
4. Pernikahan
Pernikahan dilakukan pada hari yang dianggap paling baik, biasanya Kamis malam    atau Jumat. Acara pernikahan diadakan di rumah anak daro atau di masjid.
 
5. Basandiang dan Perjamuan
Basandiang adalah duduknya kedua pengantin di pelaminan untuk disaksikan tamu-tamu    yang hadir pada pesta perjamuan. Kedua pengantin memakai pakaian adat Minangkabau.    Acara biasanya dipusatkan di rumah anak daro, jadi segala keperluan dan persiapan    dilakukan oleh pihak perempuan.
 
6. Manjalang
Manjalang merupakan acara berkunjung. Acara ini dilaksanakan di rumah marapulai    (pengantin laki-laki). Para kerabat menanti anak daro yang datang manjalang.    Kedua pengantin diiringi kerabat anak daro dan perempuan yang menjujung jamba,    yaitu semacam dulang berisi nasi, lauk pauk, dsb.
 
3.UPACARA SUNAT RASUL
Sunat Rasul juga merupakan syariat Islam, tanda pendewasaan bagi seorang anak.    Upacara biasanya diselenggarakan waktu si anak berumur 8 – 12 tahun,    bertempat di rumah ibu si anak atau rumah keluarga terdekat ibu si anak. Acara    dimulai dengan pembukaan, lalu si anak disunat, selanjutnya doa.
 
4.UPACARA TURUN MANDI
Upacara turun mandi dimaksudkan untuk menghormati keturunan yang baru lahir    dan berbagi kebahagiaan dengan masyarakat bahwa di kaum tersebut telah lahir    keturunan baru. Upacara ini dilaksanakan di rumah orang tua si anak saat anak    tersebut berumur tiga bulan. Di sini, si anak dimandikan oleh bakonya. Selain    itu juga ada perjamuan.

Upacara dan perayaan Minangkabau
Upacara dan perayaan Minangkabau termasuk:

* Turun mandi - upacara memberkati bayi
* Sunat rasul - upacara bersunat
* Baralek - upacara perkahwinan
* Batagak pangulu - upacara pelantikan penghulu. Upacara ini akan berlansung    selama 7 hari di mana   seluruh kaum kerabat dan ketua-ketua dari kampung yang    lain akan dijemput
* Turun ka sawah - upacara kerja gotong-royong
* Manyabik - upacara menuai padi
* Hari Rayo - perayaan Hari Raya Aidilfitri
* Hari Rayo - perayaan Hari Raya Aidiladha
* Maanta pabukoan - menghantar makanan kepada ibu mentua sewaktu bulan Ramadan
* Tabuik - perayaan Islam di Pariaman
* Tanah Ta Sirah, perlantikan seorang Datuk (ketua puak) apabila Datuk yang    sebelumnya meninggal dunia silang beberapa jam yang lalu (tidak payah didahului    dengan upacara batagak pangulu)
* Mambangkik Batang Tarandam, perlantikan seorang Datuk apabila Datuk yang sebelumya    telah meninggal 10 atau 50 tahun yang lalu (mengisi jawatan yang telah lama    dikosongkan)


Dharmasraya merupakan nama ibukota dari sebuah Kerajaan Melayu di Sumatera, nama ini muncul  seiring dengan melemahnya kerajaan Sriwijaya setelah serangan Rajendra Chola I  raja Chola dari Koromandel pada tahun 1025.

Awal Mula Munculnya Wangsa Mauli
Kemunduran kerajaan Sriwijaya akibat serangan Rajendra Chola    I, raja dinasti Chola telah mengakhiri kekuasaan Wangsa Sailendra atas Pulau    Sumatra dan Semenanjung Malaya. Beberapa waktu kemudian muncul sebuah dinasti    baru yang mengambil alih peran Wangsa Sailendra, yaitu yang disebut dengan nama    Wangsa Mauli.

Prasasti tertua yang pernah ditemukan atas nama raja Mauli adalah    Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand. Prasasti itu berisi perintah    Maharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa kepada bupati Grahi yang    bernama Mahasenapati Galanai supaya membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula    dengan nilai emas 10 tamlin. Yang mengerjakan tugas membuat arca tersebut bernama    Mraten Sri Nano.

Prasasti kedua berselang lebih dari satu abad kemudian, yaitu    Prasasti Padang Roco tahun 1286. Prasasti ini menyebut adanya seorang raja bernama    Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa. Ia mendapat kiriman Arca Amoghapasa    dari atasannya, yaitu Kertanagara raja Singhasari di Pulau Jawa. Arca tersebut    kemudian diletakkan di Dharmasraya.


Dharmasraya
Dharmasraya dalam Pararaton    merupakan ibukota dari negeri bhumi malayu. Dengan demikian, Tribhuwanaraja    dapat pula disebut sebagai raja Malayu. Tribhuwanaraja sendiri kemungkinan besar    adalah keturunan dari Trailokyaraja. Oleh karena itu, Trailokyaraja pun bisa    juga dianggap sebagai raja Malayu, meskipun prasasti Grahi tidak menyebutnya    dengan jelas.

Yang menarik di sini adalah    daerah kekuasaan Trailokyaraja pada tahun 1183 telah mencapai Grahi, yang terletak    di selatan Thailand (Chaiya sekarang). Itu artinya, setelah Sriwijaya mengalami    kekalahan, Malayu bangkit kembali sebagai penguasa Selat Malaka. Namun, kapan    kiranya kebangkitan tersebut dimulai tidak dapat dipastikan, dari catatan Cina    disebutkan bahwa pada tahun 1082 masih ada utusan dari Chen-pi (Jambi) sebagai    bawahan San-fo-ts'i, dan disaat bersamaan muncul pula utusan dari Pa-lin-fong    (Palembang) yang masih menjadi bawahan keluarga Rajendra.

Istilah Srimat yang ditemukan    di depan nama Trailokyaraja dan Tribhuwanaraja berasal dari bahasa Tamil yang    bermakna ”tuan pendeta”. Dengan demikian, kebangkitan kembali Kerajaan    Malayu dipelopori oleh kaum pendeta. Namun, tidak diketahui dengan jelas apakah    pemimpin kebangkitan tersebut adalah Srimat Trailokyaraja, ataukah raja sebelum    dirinya, karena sampai saat ini belum ditemukan prasasti Wangsa Mauli yang lebih    tua daripada prasasti Grahi.

Daerah Kekuasaan    Dharmasraya
Dalam naskah berjudul Zhufan    Zhi (諸蕃志) karya Zhao Rugua tahun 1225 disebutkan bahwa negeri San-fo-tsi memiliki    15 daerah bawahan, yaitu Che-lan (Kamboja), Kia-lo-hi (Grahi, Ch'ai-ya atau    Chaiya selatan Thailand sekarang), Tan-ma-ling (Tambralingga, selatan Thailand),    Ling-ya-si-kia (Langkasuka, selatan Thailand), Ki-lan-tan (Kelantan), Ji-lo-t'ing    (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an    (muara sungai Dungun, daerah Terengganu sekarang), Tsien-mai (Semawe, pantai    timur semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur semenanjung malaya),    Pong-fong (Pahang), Lan-mu-li (Lamuri, daerah Aceh sekarang), Kien-pi (Jambi),    Pa-lin-fong (Palembang), Sin-to (Sunda), dan dengan demikian, wilayah kekuasaan    San-fo-tsi membentang dari Kamboja, Semenanjung Malaya, Sumatera sampai Sunda.

San-fo-tsi
Istilah San-fo-tsi pada    zaman Dinasti Song sekitar tahun 990–an identik dengan Sriwijaya. Namun,    ketika Sriwijaya mengalami kehancuran pada tahun 1025, istilah San-fo-tsi masih    tetap dipakai dalam naskah-naskah kronik Cina untuk menyebut pulau Sumatra secara    umum. Apabila San-fo-tsi masih dianggap identik dengan Sriwijaya, maka hal ini    akan bertentangan dengan prasasti Tanjore tahun 1030, bahwa saat itu Sriwijaya    telah kehilangan kekuasaannya atas Sumatera dan Semenanjung Malaya. Walaupun    kronik Cina mencatat bahwa pada periode 1079 dan 1088, San-fo-tsi masih mengirimkan    utusan.]

Dalam berita Cina yang berjudul    Sung Hui Yao disebutkan bahwa Kerajaan San-fo-tsi tahun 1082 mengirim duta besar    ke Cina yang saat itu di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut    menyampaikan surat dari raja Kien-pi (jambi) bawahan San-fo-tsi, dan surat dari    putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227    tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Kemudian dilanjutkan pengiriman    utusan selanjutnya tahun 1088.

Sebaliknya, dari daftar    daerah bawahan San-fo-tsi tersebut tidak ada menyebutkan Ma-la-yu ataupun nama    lain yang mirip dengan Dharmasraya.

Dengan demikian, istilah    San-fo-tsi pada tahun 1225 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan identik    dengan Dharmasraya. Jadi, daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut merupakan    daftar jajahan Kerajaan Dharmasraya, karena saat itu masa kejayaan Sriwijaya    sudah berakhir.

Jadi, istilah San-fo-tsi    yang semula bermakna Sriwijaya tetap digunakan dalam berita Cina untuk menyebut    Pulau Sumatera secara umum, meskipun kerajaan yang berkuasa saat itu adalah    Dharmasraya. Hal yang serupa terjadi pada abad ke-14, yaitu zaman Majapahit    dan Dinasti Ming. Catatan sejarah Dinasti Ming masih menggunakan istilah San-fo-tsi,    seolah-olah saat itu Sriwijaya masih ada. Sementara itu, catatan sejarah Majapahit    berjudul Nagarakretagama tahun 1365 sama sekali tidak pernah menyebut adanya    negeri bernama Sriwijaya melainkan Palembang.

Ekspedisi Pamalayu
Dalam Kidung Panji Wijayakrama    dan Pararaton menyebutkan pada tahun 1275, Kertanagara mengirimkan utusan dari    Jawa ke Sumatera yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin oleh    Mahisa Anabrang atau Kebo Anabrang, kemudian ditahun 1286 Kertanagara kembali    mengirimkan utusan untuk mengantarkan Arca Amoghapasa yang kemudian dipahatkan    pada Prasasti Padang Roco di Dharmasraya ibukota bhumi malayu sebagai hadiah    dari kerajaan Singhasari dan tim ini kembali ke pulau Jawa pada tahun 1293 sekaligus    membawa dua orang putri dari Kerajaan Melayu yakni bernama Dara Petak dan Dara    Jingga. Kemudian Dara Petak dinikahkan oleh Raja Raden Wijaya yang telah menjadi    raja Majapahit penganti Singhasari, dan pernikahan ini melahirkan Jayanagara,    raja kedua Majapahit. Sedangkan Dara Jingga dinikahkan dengan sira alaki dewa    ( orang yang bergelar dewa) dan kemudian melahirkan Tuhan Janaka atau Mantrolot    Warmadewa yang identik dengan Adityawarman dan kelak menjadi raja Pagaruyung.

Penaklukan  Majapahit
Kakawin Nagarakretagama    yang ditulis tahun 1365 menyebut Negeri Melayu sebagai salah satu di antara    sekian banyak negeri jajahan Kerajaan Majapahit.\[6] Namun interpretasi isi yang    menguraikan daerah-daerah "wilayah" kerajaan Majapahit yang harus    menghaturkan upeti ini masih kontroversial, sehingga dipertentangkan sampai    hari ini. Pada tahun 1339 Adityawarman dikirim sebagai uparaja atau raja bawahan    Majapahit, sekaligus melakukan beberapa penaklukan yang dimulai dengan menguasai    Palembang. Kidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan menyebut nama Arya Damar    sebagai Bupati Palembang yang berjasa membantu Gajah Mada menaklukkan Bali pada    tahun 1343. Menurut Prof. C.C. Berg, tokoh ini dianggapnya identik dengan Adityawarman.

Dari Dharmasraya    ke Malayapura
Setelah membantu Majapahit    dalam melakukan beberapa penaklukan, pada tahun 1347 tahun masehi atau 1267    tahun saka, Adityawarman memproklamirkan dirinya sebagai Maharajadiraja dengan    gelar Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Mauli Warmadewa    dan menamakan kerajaannya dengan nama Malayapura dan kerajaan ini merupakan    kelanjutan dari Kerajaan Melayu sebelumnya dan memindahkan ibukotanya dari Dharmasraya    ke daerah pedalaman Minang (Pagaruyung atau Suruaso). Dengan melihat gelar yang    disandang Adityawarman, terlihat dia menggabungan beberapa nama yang pernah    dikenal sebelumnya, Mauli merujuk garis keturunannya kepada Bangsa Mauli penguasa    Dharmasraya dan gelar Sri Udayadityavarman pernah disandang salah seorang raja    Sriwijaya serta menambahkah Rajendra nama penakluk penguasa Sriwijaya, raja    Chola dari Koromandel. Hal ini tentu sengaja dilakukan untuk mempersatukan seluruh    keluarga penguasa di Swarnnabhumi.

Walaupun ibukota kerajaan    Melayu telah dipindahkah ke daerah pedalaman, di Dharmasraya tetap dipimpin    oleh seorang Maharaja Dharmasraya tetapi statusnya berubah menjadi raja bawahan,    sebagaimana tersebut pada Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah di Kerinci yang    diperkirakan pada zaman Adityawarman.

Tahun    / Nama Raja / Nama Kota / Arca / Prasasti 
Pusat pemerintahan Prasasti,    catatan pengiriman utusan ke Tiongkok serta peristiwa 1183 Srimat Trailokyaraja    Maulibhusana Warmadewa Dharmasraya Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand,    perintah kepada bupati Grahi yang bernama Mahasenapati Galanai supaya membuat    arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin. 1286 Srimat    Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa Dharmasraya Prasasti Padang Roco tahun 1286 di    Siguntur (Kab. Dharmasraya sekarang di Sumatera Barat), pengiriman Arca Amoghapasa    sebagai hadiah Raja Singhasari kepada Raja Dharmasraya. 1316 Akarendrawarman    Dharmasraya atau Pagaruyung atau Suruaso Prasasti Suruaso di (Kab. Tanah Datar    sekarang), dimana Adityawarman menyelesaikan pembangunan selokan yang dibuat    oleh raja sebelumnya yaitu Akarendrawarman. 1347 Srimat Sri Udayadityawarman    Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa Pagaruyung atau Suruaso Memindahkan    pemerintahan ke Pagaruyung atau Suruaso,

Manuskrip pada Arca Amoghapasa    bertarikh 1347 di (Kab. Dharmasraya sekarang), Prasasti Suruaso dan Prasasti    Kuburajo di (Kab. Tanah Datar sekarang)........

Setelah diadakan penelitian langsung maupun tidak langsung ke beberapa daerah di Minangkabau, antara lain Luhak Nan Tiga dan Rantau dapat dikatakan, bahwa terjadinya alam Minangkabau pada mulanya, ialah sebagai berikut:

1. Datangnya sekelompok manusia yang mengembara untuk Mencari tempat

untuk berdiam dan kebutuhan hidup
2. Mulai menetap dan mendirikan teratak
3. Dan teratak berkembanga menjadi dusun
4. Selanjutnya dan dusun terbentuk koto
5. Akhirnya dan koto terjadilah nagari. Dalam perkembangan selanjutnya timbullah kesatuan-kesatuan geografis, sosial ekonomis, politis dan kulturil yang disebut Darek dan Rantau. Yang termasuk daerah-daerah itu, ialah daerah Luhak Nan Tigo, yaitu Luhak Tanah Datar, Luhak Agam dan Luhak Lima Puluh Kota.

Luhak Nan Tigo merupakan inti alam Minangkabau.


Setelah masyarakat di daerah Luhak Nan Tigo makin berkembang juga, sebahagian mereka berpindah-pindah kedaerah lain menecari tanah baru, yang memungkinkan mereka mencari penghidupan baru. Daerah yang baru mi disebut Rantau. Selain dan daerah Luhak Nan Tigo itu disebut Rantau Minangkabau.


Dari keterangan di atas, jelas bagi kita bahwa yang dikatakan alam Minangkabau itu tendiri dan Luhak dan Rantau.


Daerah sungai. Pagu terletak dalam Kabupaten Solok bagian Selatan (sekarang merupakan kabupaten solok selatan), dengan demikian alam Surambi Sungai Pagu termasuk daerah Rantau. Ini berarti alam Surambi Sungai Pagu termasuk dalam daerah alam Minangkabau.


Darwis Thaib Dt. Bandaro, mengemukakan, bahwa:


“Sungai Pagu Surambi alam Minangkabau”

Selanjutnya pendapat dan ahli-ahli. adat di Sungai Pagu sendiri yang mengatakan, bahwa alam Surambi Sungai Pagu mempunyai keturunan ke Pesisir, yaitu daerah Bandar X.

Pengertian Surambi di sini, ialah Sungai Pagu yang mempunyai Surambi; surambinya daerah Pesisir itu sendiri.

Untuk jelasnya mana yang betul dan kedua pendapat ini, baiklah ditiajau terlebih dahulu bagaimana asal mulanya dan perkembangan daerah Sungai Pagu.


Asal-usul / Perkembangan penduduk

Dalam pemerintahan Kabupaten Solok, Propinsi Sumatra Barat terdapat suatu daerah dengan nama Kecamatan Sungai Pagu dengan ibu kota kecamatannya Muara Labuh.
Kecamatan ini terdiri dan dua nagari, yaitu:

a. Nagari Pasir Talang

b. Nagari Kota Baru

Menurut letak geografisnya daerah ini berbatas:

· sebelah Timur dengan Kecamatan Sangir/Lubuk Gadang
· sebelah Selatan dengan gunung Kerinci
· sebelah Barat dengan Bukit Barisan
· sebelah Utara dengan kecarnatan Pantai Cermin/Surian

Dan Tenggara (dekat guriung Kerinci) mengalir Batang Bangko dan dan Barat Laut, perbatasan kecamatan Sungai Pagu dengan kecamatan Pantai Cermin, mengalir Batang Suliti; keduanya bertemu dekat nagari Muara Labuh (ibu kecamatan) dan terus mengalir ke Timur, yang akhirnya bertemu dengan Batang Hari dan Batang Gumanti.


Pada umumya kehidupan dan penghidupan terutama dan hasil pertanian, seperti padi, kopi, getah, hasil hutan dan hasil lainnya. Karena kesuburan tanahnya daerah mi terkenal di Sumatera Barat sebagai daerah surplus beras. Buktinya dapat dilihat dengan jelas dan perimbangan banyaknya penduduk, produksi dan kebutuhan dalam setahun.


Di samping itu dapat pula ditunjukkan, bahwa adanya bangsa-bangsa asing pada zaman penjajahan Belanda yang mendirikan onderneming-onderneming yang terdapat di. beberapa tempat, seperti:


1) Kebun teh di Pekonina, Huberta dan Bukit Melintang

2) Kebun Kina di Bangko kecil, Bangko Besar dan Sumangun
3) Getah di Sungai Lambai
4) Kopi di Pinang Awan

Disebabkan politik bumi hangus pada waktu zaman perang kemerdekaan pada tahun 1948, semua bangunan di perkebunan tersebut, kecuali perkebunan getah di Sungai Lambai, dibumi-hanguskan………………

Danau Maninjau berada pada ketinggian ± 500 m diatas permukaan laut dan di kelilingi oleh Bukit Barisan yang menjulang dan curam, sehingga membuat Danau Maninjau tak ubahnya seperti kawah raksasa. Danau yang indah ini dikenal juga sebagai yang memiliki banyak tempat romantis sehingga wajar jika banyak wisatawan mancanegara menyebutnya The lake with romantic scene karena disisi manapun anda melihatnya akan tampak pemandangan yang menakjubkan.



Danau Maninjau terbentuk akibat letusan gunung berapi (Gunung Tinjau) pada masa lampau. Danau yang indah ini terletak ±36 Km dari Bukittinggi kearah barat yang dapat ditempuh dengan kendaraan umum tujuan Maninjau dan Lubuk Basung dengan melewati kelok 44 yang unik memiliki luasnya sekitar 99,5 km² dan kedalaman maksimum 495 meter.

Keberadaan Danau Maninjau menciptakan sebuah cerita legenda “Bujang Sembilan”, yang dipercaya keberadaannya oleh masyarakat sekitar. Alkisah ada satu keluarga terdiri dari 10 orang, 9 orang laki-laki (bujang) dan seorang perempuan bernama Sani. Keelokkan paras dan perilaku Sani menjadi daya pikat tersendiri bagi seorang pemuda bernama Sigiran. Singkat kata mereka kemudian menjalin asmara. Suatu hari mereka dituduh telah melakukan perbuatan amoral oleh para bujang. Untuk membuktikannya, mereka melompat ke kawah gunung Tinjau. Mereka bersumpah jika mereka melakukan tindak amoral maka gunung ini tidak akan meletus, dan jika mereka tidak melakukan tindakan amoral maka gunung ini akan meletus. Akhirnya gunung tersebut meletus dan hasil letusan tersebut membentuk kawah besar yang kemudian diisi oleh air dan menjadi danau seperti sekarang.


Presiden Pertama RI Ir. Soekarno pernah berkunjung ke Danau Maninjau dan takjub dengan keindahannya. Untuk mengungkapkan kekagumannya tersebut ia menulis sebuah pantun yang berbunyi “Jika makan arai Pinang, makanlah dengan sirih yang hijau, jangan datang ke Ranah Minang, kalau tak mampir ke Maninjau”. Pantun yang ditulis oleh Presiden pertama RI ini, cukup mewakili untuk menggambarkan keindahan panorama alam Danau Maninjau nan eksotis.