Sulit mengatakan, bahwa gasiang tangkurak itu dikatakan sebuah seni, karena ia tidak pernah dipertontonkan dan dinikmati khalayak, namun muaranya lebih kepada mistik belaka. Tapi, bagi manapun juga, prosesi memainkan gasiang tangkurak khusus di Pesisir Selatan tetap tidak bisa dipisahkan dari rabab. Dalam memainkannya menggunanakan alat musik dan nyanyian rabab.
Berikut penulis laporkan sekelumit tentang gasiag tangkurak. Setelah dibujuk dan menunggu enam bulan, akhirnya salah satu pewaris gasiang tangkurak di Lengayang Pesisir Selatan mengajak penulis untuk mengenal lebih dekat dengan gasiang tangkurak pada awal Juli 2011 ini.
Rupanya lokasi praktek dukun gasiang tangkurak tidak semabarangan saja. Letaknya harus jauh dari keramaian dan terasing. Dengan berjalan kaki sekitar 3 kilo meter di sebuah kampung di Lengayang, lantas sebuah pondok tempat praktek dukun gasiang tangkurak dijumpai. Lengang, sunyi dan terasing.
“Lokasi seperti ini sarat mutlak untuak manggasiang,” ungkap dukun gasiang yang tidak bersedia disebutkan namanya itu.
Selepas Isya, sang dukun memperkenalkan peralatan gasiang. Di sana ada dua buah gasiang yang konon kabarnya terbuat dari tulang kening manusia. Masing masing gasiang punya sejarah pula, yang satunya dibuat karena ada wasiat dari pemilik tulang kening itu. Yang kedua atas inisiatif. Kedua gasiang itu telah diwariskan sebanyak empat kali, artinya sang dukun yang memegang gasiang saat ini adalah pewaris keempat semenjak gasiang itu dibuat ratusan tahun lalu.
Kemudian di ruangan itu terdapat dua buah kardus mi instan yang berisikan tumpukan foto laki-laki dan wanita.
“Iko nan lah berhasil, samantaro nan di kardus ciek lai masih dalam proses,” kata dukun gasiang tersebut.
Rupanya yang meminta jasa perdukunan ini sangat banyak, dan dari berbagai lapisan. Itu terlihat dari foto yang terdapat dikotak tersebut, bahkan selain anak muda juga ada ibu rumah tangga.
Dan yang mengejutkan, ternyata di sana juga ada foto beberapa orang PNS dan pejabat daerah. Ternyata PNS juga masih percaya dengan klenik seperti ini. Foto pemuda berseragam polisi dan tentara.
“Inyo nan mintak tolong, tantu dibantu,” kata dukun lagi.
Sebuah biaola tua tampak tergantung didinding. Tepat pukul 12.00 WIB, sang dukun bersiap siap melakukan praktek gasiang. Bau kemenyan menusuk hidung. Ia mulai memungut biola dan memainkannya. Tepat dihadapannya ada dua buah foto laki laki dan perempuan keduanya disatukan dengan sebuah jarum, ditusuk tepat di jantungnya. “Ini untuk menyatukan,” kata dukun tersebut.
Selepas itu sang dukun menyelipkan ujung tali pancarono ke ibu jari kaki kirinya, sembari dengan tangan kanan menarik ujung lainnya. Gasiang mulai berputar. Dari mulutnya masih terdengar suara berupa mantera yang dinyanyikan dengan irama rabab yang khas (iramanya mirip ratok sikambang), tapi tidak diiringi gesekan biola. Kadang terdengar kuat, kemudian merendah dengan irama yang yang menyentak hulu hati.
Demikian berkali. Bila terasa lelah, ia istirahat. Kemudian diulanginya lagi. Setidanya pada malam itu ada tiga pasang fito yang dimainkannya. “Ada yang minta dipisahkan, ada yang minta mantan kekasihnya bathinnya sengsara, ada pula yang minta disatukan kembali,” katanya.
Menjelang subuh praktek mistik itu selesai. Tidak ada yang aneh saat operasi gasing tangkurak itu berlangsung kecuali suasana sepi. Yang menarik bagi saya adalah, bahwa gasianga tangkurak ini dimainkan dengan alat dan kesenian rabab pasisie, namun sang dukun tidak pula tahu jenis irama lagu yang diaminkan. “Lah bantuak itu ditarimo dari guru ambo,” katanya. (Laporan Haridman Kambang/haluan)