Masyarakat setempat biasa menyebut tradisi ini dengan sebutan marosok yang berlangsung di hari jual-beli ternak atau pakan taranak. Ada sekitar seratus pemilik ternak dengan jumlah hewan antara 150 hingga 200 ekor yang dijual di pasar itu. Marosok berlangsung antara penjual-pembeli seperti orang bersalam-salaman. Namun begitu, kedua tangan yang berjabat tidak terlihat orang di luar penjual-pembeli. Sebab, tangan yang bersalaman itu selalu ditutupi benda lain, seperti sarung, baju atau topi. Tujuannya agar orang lain tak melihat proses transaksi tersebut. Dengan begitu, harga ternak hanya diketahui antara penjual dan pembeli.
Sewaktu tawar menawar berlangsung, penjual dan pembeli saling menggenggam, memegang jari, menggoyang ke kiri dan ke kanan. Jika transaksi berhasil, setiap tangan saling melepaskan. Sebaliknya, jika harga belum cocok, tangan tetap menggenggam erat tangan yang lain seraya menawarkan harga baru yang bisa disepakati.
Dalam marosok, setiap jari melambangkan angka puluhan, ratusan, ribuan, bahkan jutaan rupiah. Semisal, pedagang ingin menjual ternaknya seharga Rp 6,4 juta, maka dia akan memegang telunjuk pembeli yang melambangkan sepuluh juta rupiah. Setelah itu, empat jari yang lain digenggam dan digoyang ke kiri. Ini berarti Rp 10 juta dikurangi Rp 4 juta. Sedangkan untuk menunjukkan Rp 400 ribu, empat jari yang digoyang tadi digenggam lagi dan dihentakkan. Bila disepakati, transaksi berakhir dengan harga Rp 6,4 juta.
Jika pembeli ingin menawar seharga Rp 6,2 juta, maka ia cukup menggenggam dua jari dan menggoyangnya ke kiri. Kalau ingin ditambah Rp 50 ribu lagi, pemilik ternak akan memegang satu ruas jempol si pembeli sambil mematahkannya ke bawah, maka harga ternak itu menjadi Rp 6,25 juta.
Para pedagang ber-marosok agar harga ternak yang dibelinya tidak diketahui oleh banyak orang. Transaksi berduaan seperti itu memang jamak dilakukan di setiap pasar ternak, tentu saja dengan cara yang disepakati masyarakat masing-masing daerah. Tak ada yang mengetahui secara pasti, kapan marosok ini bermula. Sejumlah pedagang ternak hanya mengakui, tradisi ini sudah dimulai sejak zaman raja-raja di Minangkabau dan diterima secara turun temurun.