Twitter

Mambantai Kabau Nan Gadang : Upacara Adat Turun Kesawah Masyarakat Alam Surambi Sungai Pagu

Author Unknown - -
Home » , » Mambantai Kabau Nan Gadang : Upacara Adat Turun Kesawah Masyarakat Alam Surambi Sungai Pagu

Alam Surambi Sungai Pagu, mengambil tempat yang istimewa dalam Adat Minangkabau dengan julukan Serambi Alam Minangkabau, dalam ungkapan adat disebut juga “Ikua lareh kapalo rantau, kapak randai luhak nan tigo, wilayah ini tidak termasuk kedalam Luhak nan Tigo, bukan juga wilayah Rantau, dan tidak pula dibawah Pagaruyuang, tetapi dalam ungkapan adat disebut “masih dalam kain saruang nan sahalai” dengan Alam Minangkabau, tantangan adat nan baisi limbago nan batuang, yaitu samo baadat Minangkabau, nan basuku bakeh ibu, babangso bakeh bapak, sako turun temurun, pusako jawek bajawek, sangsoko pakai mamakai.

Adat Minangkabau hulunya di Pariangan – Padang Panjang, muaranya di Muaro Labuah – Alam Surambi Sungai Pagu. Diwilayah Alam Surambi Sungai Pagu ini terhimpun beberapa langgam, lareh, aneka model dan ragam rumah adat yang terdapat di Alam Minangkabau dan di Serambi Alam Minangkabau ini Alam Minangkabau digambarkan secara utuh.

Di Alam Surambi Sungai Pagu, pada setiap tahun akan dimulai turun kesawah terlebih dahulu, dilakukan upacara “mambantai kabau nan gadang” serta makan bersama berhidang dengan “jamba surang-surang”, dihadiri oleh Rajo nan Barampek dan seluruh Niniak Mamak/Penghulu adat serta anak kemenakan serta memakai pakaian kebesaran dari masing-masing kaum. Pada upacara ini dilewakan Plakat turun kesawah selengkapnya, mulai dari mengerjakan banda/irigasi, manabu/menyemai benih, batanam/menanam padi dan menentukan jenis padi, waktu menentukan padi yang akan ditanam apakah padi lambat atau padi cepat. Dengan memanjatkan do’a kepada hadirat Yang Maha Kuasa, diletakkan pada yang besar, digantungkan pada yang tinggi, semoga segala marabahaya dan wabah serta hama-hama menjauh. Seperti pepatah lama Minangkabau mengatakan “kasawah basamo-samo, ka ladang badakok-dakok”, karena keyakinan tersebut sudah meresap pada setiap penduduk/petani, maka pada waktu itu negeri aman sentosa, ternak berkembang biak, padi masak manjadi, jaguang maupiah, sebab semua penduduk telah memiliki kecukupan pangan, maka gaduh, pencurian, rampok, maling, rebut rampas hilang dengan sendirinya.

Membantai Kabau nan Gadang sebagai tanda dimulainya turun kesawah di Alam Surambi Sungai Pagu, mempunyai tata pelaksanaan yang menggambarkan sangkut paut yang sangat erat hubungannya dengan sejarah dan kekuasaan Rajo Nan Barampek, mewujudkan dengan nyata batas Ibu Alam Surambi Sungai Pagu dalam lingkungan kekuasaaan Rajo-rajo dan Penghulu adatnya, begitu juga pembagian kekuasaan antara Rajo dan Penghulu sebagai dasar bermula adanya, serta sebab musabab terjadinya Membantai Kabau nan Gadang. Upacara ini sesuai dengan pendapat dan paham “menjadi bunjai nan diuleh dan suri nan ditanun”, tumbuh dan tertanam kuat dalam jiwa, kadang-kadang menjadi suatu kepercayaan pada setiap tingkatan masyarakat.

SEJARAH

Ketika rombongan Nenek moyang Anam puluah kurang aso malanca-malatiah rimbo disekelingling Kuala Banda Lakun (Alam Surambi Sungai Pagu) dimasa itu, sesampainya didaerah yang sekarang dikenal dengan Koto Birah dan Lubuk Jariang (Alam Pauah Duo) bertemu dengan tiga orang nenek moyang yang sudah lama bermukim disana, mereka adalah nenek moyang orang Alam Pauah Duo, rombongan dari nenek anam pulauh kurang aso tadi segera melaporkan keberadaan pertemuan itu kepada niniak Nan Kawi Majo Ano yang pada saat itu menjadi Raja Alam, setelah mendengar laporan tersebut beliu menitahkan supaya nenek moyang orang Alam Pauah Duo tersebut membayar bunga padang yang ditetapkan berupa seekor kerbau pada setiap tahunnya. Ketika nenek orang Alam Pauah Duo menyerahkan kerbau maka yang berhak memilihnya adalah Nenek orang dari Parik Gadang Diateh (Balun) pantas atau tidaknya beliu pulalah yang menyampakain kepada Raja Alam pada waktu itu beserta disaksikan oleh seluruh rakyat, oleh Raja Alam pada saat itu setiap tahunnya diadakan upacara memberikan makan kepada segenap rakyat, daging kerbau yang dipotong dibagi-bagikan untuk dimasak dan dimakan bersama-sama sebagai kewajiban Yang Dipertuan Raja Alam yang dikenal juga dengan batabua urai (memberi makan).

Banuaran, adalah sebuah kampuang tertua yang berada di Banda Lakun (Alam Surambi Sungai Pagu) yang berada di Alam pauah Duo, merupakan pijakan pertama nenek moyang pada generasi pertama dan kedua, disana terdapat kandang kabau (peternakan kerbau) kepunyaan Inyiak Rajo Tuakal, disini terdapat kumpulan kerbau jantan yang ukurannya sangat besar-besar yang disebut dengan “Bujang Sembilan” menurut legenda, kerbau-kerbau tersebut berkeliaran sampai ke Tapan daerah Sako di Pesisir Pantai Barat, awal ceritanya Bujang Sembilan inilah yang pertama kali dikirim untuk diserahkan kepada Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Sungai Pagu sebagai upeti atau bunga padang setiap tahunnya.

Tata Cara Pelaksanaan

Setiap akan dimulai turun kesawah bersamaan dengan datangnya musim hujan antara pertengahan bulan Desember sampai dengan pertengan bulan Januari, Penghulu adat yang ada dalam lingkungan batas dari Balun batu Hilir sampai keranah Pasir Talang, terus ke Languang dan Koto Baru, ke Sako Luhak nan Tujuh sampai ke Batang Marinteh Mudiak di Pauah Duo, menetapkan dengan mufakat untuk membantai/memotong Kerbau yang besar, serta menyampaikan plakat turun kesawah dan upacaranya. Seterusnya proses komunikasi antar suku untuk perencanaan sampai dengan pelaksanaan upacara dilakukan secara berjenjang, mulai dari tingkat persiapan, teknis dan tahapan upacara puncak. Adapun urutan-urutan pelaksanaannya adalah sebagai berikut :
  • Pada hari yang telah ditentukan, setiap penduduk yang memiliki kerbau yang besar dan bagus harus dibawa kelapangan yang telah ditentukan untuk ditaksir/dinilai bersama-sama, kerbau mana yang akan dibantai nantinya.
  • Yang berwenang untuk menunjuk dan memilih Kerbau tersebut adalah orang dari Alam Pauah Duo.
  • Sedangkan untuk menentukan (mamatuik) dan mempertibangkan pantas apa tidaknya adalah orang dari Parik Gadang Diateh.
  • Setelah diputuskan barulah pembayaran dan pembantaian dilaksanakan. (Uang pembayaran berasal dari iuran/patungan Penghulu adat disetiap suku).
  • Walaupun diarena atau lapangan tersebut banyak dihadiri oleh orang-orang yang berpengalaman dalam memperhitungkan harga dan layak atau tidaknya kerbau yang akan di bantai tersebut, mereka tidak dapat untuk dimintakan pendapatnya mengenai hal tersebut diatas, hak veto dalam memilih kerbau ini adalah hak dari orang Alam Pauah Duo, sementara hak untuk mempertimbangkan dan penawaran harga adalah hak orang dari Parik Gadang Diateh.
Adapun yang menjadi pokok dalam pembagian daging dari membantai kerbau besar ini bukanlah berdasarkan jumlah Penghulu yang ada atau hadir, melainkan berdasarkan raja yang ada di Alam Surambi Sungai Pagu, atau lebih dikenal dengan sebutan Rajo Nan Barampek sedangkan Raja Alam Surambi Sungai Pagu yang disebut sebagai Payuang Sakaki tombak sabatang, karena itu pembagian daging ini hanya terdiri dari lima bagian/kelompok yang terditi dari :
  • Seperlima bagian untuk Rajo suku Melayu yang dibagikan kepada penghulu/ninik mamak yang ada pada pesukuan kaum Melayu tersebut.
  • Seperlima bagian untuk Rajo suku Kampai yang juga dibagikan kepada penghulu/ninik mamak yang ada pada pesukuan kaum Kampai tersebut.
  • Seperlimanya lagi diserahkan pada Rajo dari kaum suku Tigo Lareh Bakapanjgan yang juga dibagikan kepada penghulu/ninik mamak yang ada pada pesukuan kaum Tigo Lareh Bakapanjangan tersebut.
  • Juga Seperlima bagian untuk Rajo suku Panai yang dibagikan kepada penghulu/ninik mamak pada pesukuan kaum Panai tersebut.
  • Dan seperlima bagiannya lagi dikembalikan ke asalnya di Batang Marinteh Mudiak (Alam Pauah Duo) untuk atas nama Dt. Rajo Mulie, yang indak Rajo kaganti Rajo, atau wakil Rajo Alam Surambi Sungai Pagu di Pauah Duo untuk dibagikan kepada masyarakat Alam Pauah Duo.
Sedangkan khusus untuk kepala kerbau yang di bantai diserahkan kepada Daulat Raja Alam Surambi Sungai Pagu yang disebut juga dengan ikua kudan kapalo kudan. Pembagian ini tergambar dalam bentuk dan potongan balai adat yang menjadi lambang adat Alam Surambi Sungai Pagu, bentuk dan tampaan balai adat tersebut seperti lebar anjungannya lebih kecil dari lebar ruangan (badan) balai-balai tersebut artinya “ketinggian Raja yang berkuasa keluar daerah, sedangkan kebesaran penghulu berhak kedalam/parik rantang” Alam Surambi Sungai Pagu.

Setelah selesai pelaksanaan membantaian atau memotong Kerbau, maka keesokan harinya dilaksanakan upacara puncak dengan makan-makan bersama, pada kesampatan ini diumumkan plakat turun kesawah selengkapnya menurut tata tertib yang disusun. Upacara ini diadakan di Mesjid Raya Alam Surambi Sungai Pagu (dahulu Mesjid kurang aso enam puluh) di Ranah Pasir Talang, peserta upacara duduk berkelompok menurut belahan besar sukunya masing-masing, sesuai dengan susunan ruangan dalam Masjid yang telah dirancang orang tua-tua dahulunya yaitu sebanyak Lima ruangan. Dua ruangan bagian selatan diisi oleh suku Kampai dan Tigo Lareh Bakapanjangan, dua ruang bagian utara di sisi oleh kaum suku Malayu dan Panai, sedangkan ruangan yang terdapat pada bagian tengah diisi oleh tamu udangan atau para pejabat pemerintahan.


Membantai yang diutarakan diatas disebut juga bantai rajo-rajo dan tiap-tiap luhak atau daerah kelompok sawah yang ada dalam parik rantang Sungai Pagu melaksanakan juga upacara membantai kerbau salo-manyalo yang dimulai dari Kapalo Banda di Balun (Parik Gadang Diateh), yaitu dengan jarak waktu kurang lebih seminggu dan sebagai upacara penutup sebelum turun kesawah dilaksanakan di Batang Marinteh Mudiak (Alam Pauah Duo) yang pelaksanaannya bertempat di Balai-balai lapeh, badinding bukik, baatok langik dan balantai tanah, dihadiri oleh Raja-raja atau yang mewakili beliau serta Niniak Mamak, disinilah utusan Rajo Alam menyampaikan titah berupa perintah atau larangan dan pantangan supaya dijauhi, diucapkan amad/larangan yang isinya antara lain :
  • Karimbo, kayu tak bulieh ditabang, rotan tak bulieh dirangguikan, manau tak buliah dipancuang.
  • Ka Batang Aie, aia tak buliah dikaruah, batu tak buliah dibaliak, tabiang tak buliah diruntuah, ikan tak buliah dicakau.
  • Ka samak baluka, buah manih, buah masam tak buliah diambiak dipanjek mudo, dan lain-lain.
Kok pantang dilampau, kok amad dilansuangkan/dilanggar maka kabawah indak baurek, kaateh indak bapucuak, di tangah-tangah digiriak kumbang, bak karakok tumbuah diateh batu, iduik sagan mati ndak amuah, dimakan sumpah sati.

Setelah pengelolaan sawah mulai dari pembagian air, menggarap, menabu dan batanan sampai pada saat padi di sawah telah disiangi, padi telah mulai terbit (berbuah) dan sawah mulai mulai dikeringkan, maka pantangan dan larangan diakhiri, yang disebut “mambubuih amad”, dan diatur dengan tata cara dalam kebijaksanaan hukum sebagai pedoman, kok maampang jaan sampai kasubarang, kok mandindiang jaan sampai ka langik, kok bubuik jan maruntuah tabiang, kok ungkai jan mararak bingkai.

Begitulah asal mulanya Membantai Kabau Nan Gadang (Besar) yang telah menjadi adat kebudayaan turun temurun setiap tahunnya saat mualai turun kesawah di Alam Surambi Sungai Pagu.

Artikel Terkait: