Pada suatu hari di tahun 1916, kota Padang berbenah diri, bersiap menyambut kedatangan seorang tamu agung yaitu wakil mahkota Ratu Belanda di Hindia Belanda. Siapa lagi kalau bukan sang Gubernur Jenderal Johan Paul Graaf van Limburg Stirum. Jika dinilai sekarang, kunjungan ini setara dengan kunjungan pak SBY lah. Untuk kondisi transportasi yang ada pada saat itu, kunjungan ini luar biasa karena memerlukan pelayaran dengan kapal selama berhari-hari dari Batavia menuju Padang.
Sebagai seorang Gubernur Jenderal, van Limburg Stirum terkenal sebagai gubernur yang agak liberal dibanding para pendahulunya, terutama terhadap anak jajahan. Ia berkuasa antara tahun 1916 - 1921. Pada masanya dibentuk Volksraad atau Dewan Rakyat yang melibatkan bangsa pribumi sebagai anggota. Dengan demikian hak politik mulai dimiliki oleh anak negeri. Karena itu pula ia kurang disenangi oleh sesama rekannya para pejabat Belanda.
Kembali ke cerita kita. Kunjungan sang Gubernur Jenderal tentu menyibukkan para pejabat lokal di Padang dan sekitarnya. Sampai-sampai harus membuat gerbang seperti yang tergambar disamping.
Gerbang itu dibuat meniru gerbang Arc de Triomphe di Paris tapi tentunya ala Padang. Dibubuhi tulisan Welkom te Padang yang artinya Selamat Datang di Padang. Dihiasi juga dengan bendera Belanda. Apakah terdapat juga warna marawa tidak begitu jelas.
Posisi persis gerbang ini berdiri tidak begitu pasti. Hal ini karena konstruksi jembatan dengan rangka baja melengkung seperti yang nampak di belakang gerbang itu tidak kita temui lagi sekarang, kecuali untuk jembatan kereta api. Jadi tidak ada pembanding.
Yang hampir dapat dipastikan adalah posisi jembatan ini berada di batas kota Padang dari arah pelabuhan Emmahaven atau Teluk Bayur. Itu karena sang penguasa turun dari sana.
Ditengah jembatan berdiri dengan gagahnya mengendarai kereta angin seorang ambtenaarberbaju beskap putih. Mungkin kalau sekarang, dia itu polantasnya, biar jangan ada yang lewat atau melintas (lagipula siapa berani? :)). Disampingnya, persis di bawah pilar, berdiri seorang pejabat pribumi dengan saluaknya. Mungkin angku damang atau angku kapalo nagari daerah tersebut. Ditengah jembatan juga masih banyak orang berdiri. Siapa tahu salah satunya disana adalah paspamgubjen alias paspampres masa itu?
Rakyat juga berdiri menanti di pinggir jalan dengan pakaian bagus. Seperti hari raya saja layaknya. Baju bersih dan berkain sarung serta berkopiah, tua dan muda.
Tibalah saatnya. Kapal MS. Insulinde yang ditumpangi rombongan Gubernur Jenderal dari Batavia merapat di Emmahaven atau Teluk Bayur. Tidak diketahui apakah kapal itu dicarter seluruhnya ataukah rombongan itu berlaku sebagaimana penumpang biasa. Karena kalau sekarang, kepala negara kan mencarter satu pesawat?
Selanjutnya foto-foto koleksi Tropen Museum Amsterdam akan berbicara lebih banyak.
Kapal MS Insulinde merapat di pelabuhan Emmahaven. Terlihat karpet (merah?) terbentang. Di atas kapal berjejer pria dan wanita berpakaian "wajib" berwarna putih melongok ke bawah.
Gubernur Jenderal (paling depan) menuruni kapal. Sepertinya memakai jas biasa, tidak dengan pakaian putih dan topi bundar sebagaimana pejabat-pejabat Belanda lainnya. Sementara beberapa langkah di belakangnya sang istri mengikuti, dengan dibantu seorang kru.
Dibawah sudah bersiap sedia 2 orang pejabat. Yang satu, berbaju hitam kemungkinan adalah kapten kapal atau setidaknya pejabat kapal. Dilihat dari topi yang dikenakannya.
Sementara yang berbaju putih, ah, sudah pasti dia salah seorang penguasa di kawasan Sumatera's Weskust.
Sesampai di darat, Gubernur Jenderal dan istri berjalan menuju tempat penyambutan, dengan didampingi seseorang yang berpakaian putih dengan jas hitam dan celana putih. Mungkin tuan Residen. Sementara di belakang juga berdiri seorang nyonya, mungkin nyonya residen. Yang diatas juga masih celingak celinguk.
Rombongan sudah mendekati tempat penyambutan. Disebelah kanan gambar terlihat korps musik dengan terompet dan genderang. Di bagian depan terlihat barisan militer dengan topi berjambul dan diikuti dengan barisan pejabat sipil yang mengenakan pakaian berwarna putih.
Yang menarik, kapalnya terlihat agak miring ke arah dermaga. Apakah efek foto atau memang begitu? Ataukah karena pengaruh seorang Gubernur Jenderal itu begitu besar sehingga kapal juga harus dimiringkan ketika dia turun? Biar nggak terlalu jauh turun tangga mungkin?