Di sela-sela rimbunan kebun tebu Puncak Lawang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, berdiri gubuk bertiang kayu, beratap ilalang yang berlubang di puncaknya, dan berlantai tanah. Tanpa dinding, hitam jelaga melabur semua bagian gubuk.
Meski amat sederhana, ratusan gubuk seperti itulah yang telah menebarkan manisnya gula dari dusun yang terletak tak jauh dari Danau Maninjau ke seantero ranah Minang Orang-orang Puncak Lawang menyebut ratusan gubuk seperti itu kilang gula merah.
Setiap pagi, kilang-kilang Puncak Lawang menggeliat dengan kerja para lelaki, perempuan, dan kerbau peliharaan mereka. Tebu-tebu ditebas, dibersihkan daunnya. Air sari tebu yang manis diperas lewat gerinda kayu ataupun besi yang diputar kerbau, yang ditutup matanya dengan tempurung kelapa. Kacamata tempurung kelapa itulah yang menjamin kepatuhan sang kerbau untuk terus berjalan berputar.
Kerbau sudah menjadi rekan setia para perajin gula merah Puncak Lawang selama dua generasi. Menurut Marjudin Sutan Asli, pembuat gula merah, dulu roda penggiling diputar oleh lima-enam orang.
Air sari perahan yang manis pun dituang dalam kuali besar untuk kemudian dipanaskan dalam tungku batu berbahan bakar kayu dan ampas tebu.
Dan bila air tebu telah mengental coklat kemerahan, itulah saatnya menyiapkan cetakan-cetakan kayu. Pasta coklat dituangkan, tak sampai dua menit kepingan-kepingan gula merah mengeras nan manis, siap dipasarkan.
Para pembuat gula merah seperti Marjudin bekerja mulai sekitar pukul 08.00 hingga senja, sekitar pukul 17.00. Sehari, dia dengan dibantu istri dan terkadang dengan tiga anaknya, bisa mencetak 40 kilogram keping gula merah dari 300 hingga 400 batang tebu.
Dari gula tebu itulah putri sulungnya kini dapat kuliah ilmu komputer di sebuah perguruan tinggi di ibu kota propinsi, Padang, dan dua anaknya yang lain menuntut ilmu di sekolah menengah umum di Bukit Tinggi. Semua dari gula merah yang dijual Rp 2.500 per kilogram.