Twitter


Untuk porsi sedang
Bagi yang tidak suka daging ganti dengan IKAN dengan bumbu dan cara memasak yang sama.

Bahan :
a. Daging Sapi, 500 gram. Dipotong-potong berbentuk segi empat (kotak-kotak)
b. Kentang, 250 gram. Dipotong-potong 

Bumbu :
1. Cabe merah besar 7 buah
2. Cabe rawit merah 3 buah
3. Bawang putih 4 siung
4. Bawang merah 6 buah
5. Jahe sebesar ibu jari
6. Tomat merah 2 buah
7. Kemiri 3 buah
8. Asam kandis, 2 buah
9. Langkuas, sebesar ibu jari
10. Serei, 1 batang
11. Daun jeruk purut 2 lembar
12. Daun kunyit, 1 lembar
13. Garam secukupnya
Catatan :
· Daging dan kentang dipotong2
· Bumbu yang dihaluskan: cabe merah, cabe rawit, bawang putih, bawang merah, jahe, langkuas dan kemiri.
· Tomat diiris-iris setebal 3 mm.

Cara Memasak
1. Masukan daging ke dalam panci bersama bumbu-bumbu yang dihaluskan
2. Selanjutnya masukan serai, daun kunyit, daun jeruk dan tomat yang sudah diris-iris.
3. Agar daging cepat empuk, pancinya ditutup waktu memasak.
4. Apabila daging setengah matang , masukan asam kandis kentang yang sudah dipotong-potong.
5. Apabila daging sudah empuk dan kuah sudah kental panci diangkat
6. Catatan : Waktu memasak apinya pelan (jangan terlalu besar) dan kalau daging sudah empuk dan kuah belum kmengental tambahkan air panas (jangan pakai air dingin, karena daging akan mengeras).

(Pengantar : Tulisan berikut adalah Bagian Kedua dari terjemahan bebas dari buku berjudul Van Batavia Naar Atjeh, Dwars Door Sumatra De Aarde en Haar Volken (Dari Batavia ke Aceh, Bumi dan Rakyat Sumatera) yang merupakan catatan perjalanan sang pengarang, Fransch F. Bernard. Buku ini aslinya diterbitkan pada tahun 1904 dan saat ini telah didigitasi oleh Project Gutenberg.


Bagi yang belum membaca Bagian Pertama silahkan klik disini.


Gambar : Mesjid dan desa di kaki Gunung Singgalang

Kami menginap di Solok dan pergi lagi pagi-pagi. Beberapa kilometer selanjutnya kami menurun sepanjang Lassi, tapi kemudian sebuah ngarai sempit membuka, dan kami melalui terowongan sepanjang 800 sd 900 M. Kami memasuki lembah Sawah Loento.

Lapisan batu bara di Sawah Loento tersebar di area permukaan yang sangat luas sepanjang lembah sungai Ombilien. Hanya bagian selatan dioperasikan. Terbagi dalam tiga lapisan paralel, yang terendah dengan ketebalan 6 sampai 8 M. Batubara diambil dari tambang, lalu ditempatkan dalam gerobak yang ditarik oleh kerbau, untuk jarak sekitar 1500 m. Kemudian dipindahkan ke gerbong, untuk dikirim ke Emmahaven.
Kami berjalan dengan susah payah di sepanjang jalan sempit dalam tambang. Di atas genangan lumpur hitam yang meliputi tanah, kerbau menarik kereta di atas genangan air. Mereka terlihat ketakutan dan bodoh. Dengan kepala menunduk, mereka segera kembali bergerak lambat, melangkah lebar-lebar, menumpukan berat di tanah, di atas air berlumpur.

Kami mengakhiri wisata tambang antara dua dinding hitam besar. Tentu saja meskipun panas gerah, kami senang ketika melihat matahari lagi. Para penambang, kebanyakan laki-laki Cina dan Melayu, masih terus melanjutkan pekerjaannya. Kebanyakan narapidana Melayu. Mereka rindu dengan matahari dan daerah dengan pemandangan yang luas. Sementara orang Cina menerima upah. Para buruh bekerja di bawah pengawasan pengawas, yang juga narapidana, tetapi kekuasaannya diakui oleh semua. Tidak sulit untuk memimpin para buruh miskin ini. Keterasingan, hukuman, dan demam telah menghancurkan kekuatan mereka, juga ketidakpedulian terhadap kebersihan. Dan hanya sesekali terjadi perkelahian, yang biasanya berakhir dengan pengadilan.

Penduduk disana semakin padat. Meskipun batubaranya berkualitas rendah, produksi dan penjualan meningkat setiap hari. Sekarang mencapai 18 000 ton per bulan dan hampir 3000 penambang bekerja di sana. Yang terakhir ini adalah pegawai negeri, dan juga mengoperasikan kereta api, sedangkan seorang insinyur bertanggung jawab untuk mengawasi seluruh pekerjaan dan kegiatan di Emmahaven. Meski Sawah Loento berjarak 156 mil dari pelabuhan, dengan tanjakan lebih dari 58 mil langsung melalui Soebangpas, tetapi dipilih rute melalui Padang Padjang sehingga nantinya dapat dibantu dengan kereta dari wilayah Fort de Kock dan Pajacombo. Setelah kunjungan kami ke tambang tersebut, kami kembali ke Solok, untuk bermalam di situ.

Solok bukanlah sebuah kota melainkan sebuah desa besar. Tanah di sekitar itu baru sedikit yang digarap, dan peradaban belum seperti di Jawa. Hewan-hewan liar masih banyak. Kami melihat harimau muda yang tertangkap dua hari sebelumnya. Dia berada di belakang di taman dalam kandang berat, dan begitu ia melihat kami, dia melompat ke arah kerangkeng dan menyambut kami dengan “ramah”nya. Rasa lapar dan obat bius tidak merubahnya menjadi tenang. Dia gugup dan ia meregangkan ototnya, matanya berapi-api dan bibir terangkat, sementara gemuruh auman membosankan dari mulut yang terbuka, dan lubang hidung bergetar dengan keinginan pada bau daging manusia hidup.

Gambar : Desa antara Fort van der Cappelen (Batusangkar) dan Pajacombo


Kami menghabiskan delapan hari di Padang Bovenlanden dan sekarang siap untuk pergi lagi. Setelah perjalanan pertama kami ke Padang, kami akan tinggal disana hanya satu hari.

Kami menginap di Hotel Aceh. Sebuah bangunan persegi besar di panggung berdiri tegak di tengah alun-alun yang ditanami pohon. Sebuah beranda raksasa, dengan meja dan kursi goyang. Ruang makan ada di sisi lain dan koridor mengarah ke sana, menghadap ke kamar. Di kedua sisi dari gedung persegi terdapat kamar sempit panjang, di mana kita menginap. Dinding dan langit-langit terbuat dari kayu dan begitu panas, sedangkan suara-suara bisa terdengar dari satu ujung ke ujung lainnya. Tikus-tikus berjalan-jalan dan tampak tertarik pada kulit sepatu saya dan pakaian kanvas kami. Sepanjang hari itu hotel seperti mati. Jam lima baru ada gerakan. Semua orang berpakaian santai melewati tangga curam lambat-lambat dan pergi ke kamar mandi. Orang-orang mengenakan jaket putih pendek dan celana lebar kain Jawa dengan gambar hitam besar berwarna coklat atau biru. Para wanita yang terbungkus dalam sarung berwarna-warni, dalam berbagai tampilan bentuk, menuju kamar mandi.

Tapi tontonan tersebut tidak cukup untuk membuat kami bertahan di Padang, dan kami menyelesaikan persiapan untuk berangkat lagi dengan tergesa-gesa.

Kami tiba siang hari di Fort de Kock. Ia adalah ibu kota daerah atas, dan merupakan lokasi penempatan terbesar pasukan garnisun. Kota ini dibangun di tengah cekungan, dikelilingi oleh pegunungan tinggi di sebelah Barat, Selatan dan Utara. Ke arah Timur menurun ke daerah lembah Masang Sinamar dan dataran Pajacombo.
Tanahnya subur terdiri dari batu pasir yang relatif muda, lembut, dimana alur sungai mengikis mendalam, dan terutama di sebelah utara anda dapat melihat lembah besar dengan dinding curam di mana-mana. Pada awal abad ini daerah ini tertutup hutan lebatdi sisi lembah dan pegunungan, dan daerah ini lebih dari nyaman untuk perang gerilya dengan penyergapan dan pengkhianatan, yang begitu lama telah mengamuk.

Perang akhirnya selesai. Belanda telah menaklukkan. Kelompok-kelompok bangsa Minang telah mempertahankan tanah dan kepala mereka. Mereka menyatakan bahwa mereka adalah orang bebas. Mereka berbahasa Melayu, tetapi dengan nada keras. Dalam perjanjian perdamaian tidak ada kewajiban bagi mereka selain pemeliharaan jalan dan penanaman kopi. Mereka benar-benar tahu bahwa kemenangan sebenarnya ada di pihak mereka.

Mereka adalah petani terampil dan pedagang yang cerdas. Meskipun demikian, tidak terlihat kereta orang Cina untuk masuk ke dalam persaingan dengan mereka. Pada hari pasar terlihat garis panjang pribumi di sepanjang jalan yang sibuk.Para pria memiliki kebanggaan diri, berdiri tegak dan mereka tidak menunduk ke bawah untuk merendahkan diri ketika bertemu dengan orang Eropa. Beberapa orang memegang sangkar burung di tangan dengan handuk di atasnya, . Mereka membawa burung katitiran, burung seukuran merpati, sebagai penjaga di hampir setiap rumah. Ia dipercaya membuat bisnis berhasil, melindungi keluarga dari penyakit tanaman dan kekeringan. Namun itu tidak berlangsung selamanya. Setelah empat tahun ia kehilangan semua kekuatannya, dan sampai batas waktunya tuannya akan berduka atas kematiannya. Tubuhnya diawetkan dan disimpan di atap rumah , dan sang tuan bergegas pergi ke pasar untuk membeli burung yang baru.


Hari pasar selalu menjadi hari yang sibuk. Ada kerumunan, bergerak bersama-sama. Kereta, kerbau atau sapi dimanfaatkan untuk berjalan. Di antara payung cantik besar warna-warni terlihat buah, gerabah, kain kapas, perhiasan dan kue. Ada buah raksasa, yang jelek baunya tergantung di pohon-pohon, yaitu durian, dengan duri tajam sepenuhnya dengan daging buah berwarna putih krem dan memerlukan keberanianuntuk mencicipinya. Ini tampaknya merupakan kehendak alam, yang menghasilkan , buah juicy dengan daging yang lezat namun memiliki bau yang mengerikan.

Selain itu ada mangga. Ia adalah sesuatu yang sehalus salju dan meleleh di mulut dan dingin, dengan rasa aneh yang harum . Dan kemudian ada adalah bertandan-tandang pisang, jeruk dengan ukuran besar, kelapa dan lain-lain.
Para pria berjongkok di bawah pohon melihat burung Katitiran, yang dipuji-puji oleh pedagang. Perempuan menjual minuman dan potongan aneh produk yang lengket, berwarna hitam atau merah, dan mereka membuat kopi dari daun kopi, yang digantung pada potongan bambu dan yang tersebar di tanah. Paket kecil tembakau coklat dibungkus daun enau juga dijual dan dipotong kecil-kecil, tipis, yang digulung oleh perokok sebagai rokok mereka. Di jalan terlihat laki-laki berjalan dengan kera besar di belakangnya, yang patuh mendaki pohon kelapa tinggi, untuk mengambil kelapa yang sudah matang.
.....................................
(Fakta menarik:
1. Batubara dikeluarkan dari dalam tambang dengan menggunakan kereta yang ditarik oleh kerbau. Tambang yang beroperasi juga baru tambang dangkal dengan kedalam 6-8 meter.
2. Ternyata selain narapidana (orang rantai istilah di Minang umumnya), di tambang batubara juga banyak bekerja orang Cina, meskipun mereka menerima upah.
3. Kembali istilah Soebangpas muncul. Dimana ya?
4. Solok masih merupakan desa besar dengan binatang buas yang berkeliaran.
5. Fort de Kock atau Bukittinggi merupakan tempat konsentrasi pasukan garnisun Belanda terbanyak. Pasti hal ini berkaitan dengan Perang Padri.
6. Di Padang ada hotel yang bernama Hotel Aceh. Agak unik juga. Yang punya orang Aceh atau bagaimana? Soalnya rasa ke-Indonesia-an kan belum tumbuh waktu itu, sehingga agak kurang lazim menggunakan atribut daerah lain di suatu daerah. Biasanya malah nama Belanda, seperti Hotel Oranje.
7. Perang Padri selesai. Namun orang Minang hanya diminta memelihara jalan dan menanam kopi sebagai pihak yang "kalah". Meskipun akhirnya ada juga belasting atau pajak, bahkan sampai terjadi pemberontakan di beberapa daerah.
8. Meskipun ditaklukkan Belanda, orang Minang tidak kehilangan ke-PeDe-annya. Mereka tetap egaliter. Terbukti bahwa mereka tidak menunduk atau merendahkan diri ketika berpapasan dengan orang Eropa. Nada bicaranya juga keras. Maklum, orang Sumatera, bung!
9. Orang Minang diakui sebagai petani yang terampil dan pedagang yang cerdas. Bahkan orang Cina tidak berani bersaing di pasar (tradisional).
10. Orang Minang suka memelihara burung Katitiran sebagai penjaga rumah. Agak diragukan juga pendapat penulis bahwa burung Katitiran bagi orang Minang dianggap sebagai "juru selamat". Karena, agak berbeda dengan orang Jawa (tradisional), memelihara burung bukan sesuatu yang wajib bagi orang Minang.
11. Penulis sangat takjub dengan buah-buahan lokal seperti durian yang disebut "buah lezat berbau mengerikan" atau mangga yang disebut "selembut salju, lumer di mulut dengan bau wangi yang aneh." Alamak!
12. Orang Minang minum kopi yang dibuat dari daun kopi (kawa) dan merokok daun enau. Ini tentu karena biji kopi sudah habis dikirim ke Eropa semuanya oleh Belanda...)
--- Untuk melanjutkan ke bagian III silakan klik disini


(Pengantar : Tulisan berikut adalah sebuah terjemahan bebas dari buku berjudulVan Batavia Naar Atjeh, Dwars Door Sumatra De Aarde en Haar Volken (Dari Batavia ke Aceh, Bumi dan Rakyat Sumatera) yang merupakan catatan perjalanan sang pengarang, Fransch F. Bernard. Buku ini aslinya diterbitkan pada tahun 1904 dan saat ini telah didigitasi oleh Project Gutenberg.
Buku ini menjadi menarik karena gaya bahasanya cukup detail dan dilengkapi dengan foto-foto.
Terjemahan ini hanya mengambil bagian yang meliput Ranah Minang. 
Tips membaca : resapi kata demi kata dan bayangkan.... Masa lalu memang selalu terlihat lebih romantis! :) )
..............
Mendekati Padang, kapal cukup dekat sepanjang pantai. Pegunungan indah muncul dan semakin dekat kami ke Padang, semakin sempit pantai, di mana desa-desa dihiasi dengan kebun hijau. Bukit Barisan muncul seperti dinding tinggi yang naik dari laut. Ia berubah dari curam, batu merah, tertutup dengan warna hijau dan tiba-tiba turun ke dalam gelombang. Di sela-sela pegunungan muncul sebuah teluk melengkung biru dengan semenanjung berpasir dan laguna yang tenang, pohon-pohon palem bergoyang di tiup angin, dan daun halus berkilau dibawah Matahari mengubah nada dalam lanskap dari biru laut ke biru langit.

Pertama-tama terlihat bambu dan pohon kelapa, pohon-pohon besar dengan dedaunan gelap dan potongan besar bayangan misterius,membentuk tirai dengan menyebar warna ungu. Tempat ini terlihat indah, dan keindahan alam yang luar biasa sangat menarik orang-orang Eropa. Alam yang terlihat memberikan sebuah sihir tak tertahankan. Saya bisa membayangkan bahwa dengan kondisi ini seorang penyair akan berada dalam keadaan terus-menerus berkontemplasi.

Kami tidak mendarat di Padang, tetapi di Emmahaven di sebuah teluk melingkar besar ke Selatan dan terbuka ke Barat yang dilindungi oleh pegunungan. Di tempat ini beberapa tahun yang lalu tidak terdapat apa-apa selain rawa akar pohon dan pohon pandan. Bintik-bintik kuning dan putih terang terlihat di lereng, yang merupakan tambang, dan berlubang ke arah utara yang disebabkan oleh rel kereta api. Sebuah bangunan tinggi dari besi bersilangan dengan garis-garis tajam melawan langit di atas laut dan mengeluarkan lengan panjang seperti sebuah timbangan raksasa. Dari sana, gerbong ditarik oleh lokomotif kecil, dan lengan panjang yang terbuat dari logam mengisi kapal dengan zat padat hitam,batubara.

Beberapa menit kemudian, kereta api telah membawa kami ke Padang. Apakah ini sebuah kota? Tentu, dan masih yang terbesar di Sumatera, tapi sungguh berbeda dari biasa. Seperti Batavia, penuh dengan taman dan jalan. Rumah-rumah terbuat dari kayu, di atas tiang dan beratap jerami. Tapi terasa nyaman dan tidak terlalu panas. Udara lewat secara bebas di antara atap yang tinggi, matahari dihalangi dengan kanopi, sehingga tidak terlalu silau di tanah yang berlapis rumput tebal.

Sungai tidak begitu dalam sepanjang Kampung Cina,tapi kapal-kapal kecil dapat melayarinya. Mereka membawa buah, kayu dan ikan. Mereka juga berlayar ke laut sepanjang pantai , sedangkan kapal yang sangat sarat muatan berlabuh di hilir sungai. Sebuah bukit kecil di pantai, Gunung Monyet, yang di mulut sungainya banyak kapal menari di atas ombak.

Tanggal 16 April kami menuju Padang Bovenlanden. Ada dua jalan menuju kesana, ke Timur menuju Soebangpas dan Danau Singkarak, dan yang lain menyusur di sepanjang pantai, kemudian mengikuti lembah Anai dan berakhir di Padang-Pandjang. Kereta api mengikuti rute kedua dan kami mengambil rute ini.

Pertama kami berjalan sepanjang 40 mil di daerah datar, di mana sungai besar, sungai, laut ada di dekatnya, dan kita bisa melihatnya di antara tirai tebal pepohonan. Tak lama kita tiba di sepanjang tebing tinggi dan gelap. Desa-desa semua berada dekat dengan sungai, dan hamparan sawah datar yang dipenuhi padi. Seperti pada hari kedatangan kami, kami bahagia dengan keanekaragaman vegetasi. Ada berbagai bentuk dan warna.
Daun-daun ramping, lincah dan elegan dari batang kelapa bergantian dengan sagu, palem, dan bambu. Diantara pepohonan pisang Anda bisa melihat ratusan pohon tak dikenal dengan daun terang atau gelap, kusam dan mengkilap, besar dan kecil. Saat hutan menempel pada lereng , daun dan batang Colossi raksasa dengan akar tertanam di batuan, seprti kepiting aneh yang sedang menggenggam, dan tanaman merambat, menggantung seperti karangan bunga.

Di kaki batuan terdapat rawa dan tanaman air pakis dan lumut, ranting dan batang dengan nuansa pucat menyebar, sementara anggrek hidup di lapisan kulit mereka. Banyak parasit terlihat, setiap tanaman memiliki tanaman parasit sendiri, masing-masing adalah perawat bagi yang lain.

Lembah Anei memilik jalan, dan kereta api melewati lembah tersebut. Terletak antara Kajoetanam dan air terjun. Kereta api memotong ketinggian, dan lokomotif berasap dan meraung keras. Lokomotif berada di belakang di kereta, mendorong ke depan, dan kami dapat melihat jalan berliku di depan kami. Sungai berbelok dari satu sisi ke sisi lain melalui lembah sempit, air terang berkilau membelai batuan dan menyatu dengan musik merdu dengan akar, sampai tiba-tiba ketika ada hambatan yang datang di jalannya, meloncat tinggi. Air terjun jatuh ke batuan, tiga puluh atau empat puluh kaki di atas kepala kami, dan angin mengirimi kami partikel air. Kereta api beberapa kali berada di atas sungai, terlihat di bawah busa putih, dan setiap belokan terlihat pemandangan yang indah. Stasiun pertama di ngarai terdiri dari dua atau tiga cottage di antara pohon palem dan pisang.Perhentian lain berada antara tembok tinggi dan tertutup dalam sebuah lubang, dan seperti satu keajaiban muncul secara tiba-tiba. Kemudian ada jembatan dan terowongan kecil dan gemuruh sungai dan kusut-masai pohon.

Di sana-sini jejak dari kemarahan Anai masih terlihat. Reruntuhan dan sisa-sisa jembatan di dalam sungai yang liar. Satu tahun setelah peresmian rute ini terjadi banjir dengan tiba-tiba dan memerlukan perbaikan total sebesar £ 600.000. Saya telah melihat di Padang photografieën foto-foto yang diambil pada pagi hari setelah bencana. Sangat menakutkan bagi setiap insinyur Eropa. Jalan tersapu ratusan meter, tebing di bawah jalan longsor ke arah sungai. Rel dan bantalan bengkok atau bahkan tergantung di atas jurang. Stasiun kereta api dan jembatan rusak. Dengan sangat segera pekerjaan perbaikan dimulai.

Kami berjalan perlahan melalui ngarai. Dari Kajoetanam ke Padang-Pandjang hanya 15 mil jauhnya, tapi jalan naik 640 meter bahkan pada bahwa jarak yang pendek. Cuaca menjadi dingin, dan keluar dari hutan kami bisa melihat desa-desa. Kami melewati sebuah jembatan tinggi dengan lengkungan dan lereng yang kurang curam, terlihat tanaman berbaris-baris dan kami sudah berada di Padang Pandjang.

Ini adalah sebuah kota di punggung bukit sempit, yang justru merupakan lembah antara dua lereng Sumatera. Singkatnya, kita tidak lebih dari 30 mil dari pantai dan berada di tepi dataran tinggi. Sebenarnya, nama “dataran” di sini salah. Daerah ketinggian ini memiliki permukaan tidak teratur, sangat bergelombang dan dipotong oleh lembah dan puncak tinggi yang naik di sampingnya. Tiga gunung-gunung tinggi yang indah di Padang Pandjang, yaitu Tandekat dan Singgalang di Barat, Merapi di Timur Laut. Iklim di tempat ini sempurna jika tidak begitu banyak hujan. Pagi hari yang sangat bagus, tetapi perlu waktu sampai jam sembilan untuk menyingkirkan kabut. Mereka merayap menaiki lereng gunung dan secara bertahap menyerap semua yang kami sebelumnya terlihat berkilauan di kejauhan. Awan menjadi lebih berat, dan segera turun hujan di siang hari. Tidak begitu lama, tapi matahari tidak muncul lagi, dan terlihat abu-abu terang dengan bentuk bulat dan membosankan. Saya hampir lupa bahwa saya berada di Sumatera jika aku tidak melihat pohon palem dan bambu dan rumah-rumah Melayu dengan atap rumah mereka yang begitu khas.

Rumah-rumah berada di tiang tinggi, dibuat dari kayu dan bambu, dan setiap titik meruncing sampai ujung-ujungnya, seperti haluan dan buritan kapal. Mereka dimahkotai dengan atap melengkung, dua tinggi, titik yang tajam diarahkan ke langit sebagai tanduk raksasa. Pada jendela depan yang tanpa penutup, dan sebelum pintu merupakan tempat berteduh kecil, terbuat pada kayu. Dinding putih dan warna hitam atau merah dan gambar kasar diplester dengan ornamen, potongan dekorasi kaca atau tembaga. Di setiap sisi bangunan utama yang lebih rendah, simetris saling berhadapan dan semua dibangun dengan cara yang sama, sementara atap yang lebih rendah di bawah yang lain. Di dekatnya juga lumbung beras, yang merupakan bangunan persegi kecil berbentuk panggung dan dengan atap sama dengan rumah-rumah.

Di Padang Pandjang harus diakui bahwa seluruh rumah-rumah bagus. Kami hanya memiliki beberapa jam waktu berhenti. Jalan terus mendaki sampai 1154 m., untuk menuju ke celah yang memisahkan Singgalang dan Merapi. Di sebelah kanan kami, turun dengan cepat, pemandangan Danau Singkarak yang dikelilingi oleh kabut.

Dari Kota Baru kami kembali turun ke arah Fort de Kock, yang akan dicapai pada jam lima. Hari hujan dan kami menginap di hotel. Hal ini sebaiknya tidak dialami. Bahkan kamar paling bagus sekarang diduduki oleh tikus. Sepanjang malam binatang ini membuat pemandangan seperti di neraka. Gerombolan nyamuk mendengung di surga ini, yang jauh dari kesan manis pada saya.

Keesokan paginya kami melanjutkan perjalanan kami ke Pajacombo. Kami berangkat saat ini untuk menjelajah tapi kemudian akan kembali ke sini, untuk mengamati lebih khusus dan mencari jawaban atas rincian pertanyaan yang menarik minat kami. Awalnya kami berada pada sebuah dataran tinggi, yang melereng lembut ke timur. Daerah ini dibangun secara mengagumkan, dan sawah meluas ke sisi Merapi. Di belakangnya muncul Singgalang; puncak gunung ditutupi dengan hutan, tapi pada kakinya desa-desa dan perkebunan berganti satu sama lain. Pada satu bagian dari perjalanan ini kami mengikuti jalan biasa, dengan rel berada sepanjang salah satu tepi, dan kami melewati pribumi berbaris dengan gerobak sapi, menuju pasar.

Lalu kami turun dalam garis lurus sepanjang 7 mil, lereng menurun bertahap, tanpa keraguan disebabkan oleh semburan lava yang luar biasa pada zaman dahulu. Kiri dan kanan memiliki gunung kapur yang curam dan tebing batu pasir. Potongan batu hitam bertebaran dimana-mana. Di kaki bukit itu kami melihat sebuah lorong sempit di antara dua batu, dan membawa kami ke dataran Pajacombo.

Kami pergi ke tempat itu, menemui Asisten Residen untuk berbicara dan meminta bantuannya untuk perjalanan kami. Ketika kunjungan kami sudah berakhir, kami sekali lagi naik kereta api dan kembali ke Padang-Pandjang. Di tempat ini rel kereta api terbagi, dan satu cabang pergi ke Solok dan dari situ ke tambang batubara Sawah-Loento. Itu adalah tujuan utama dari tamasya pertama kami. Kereta turun perlahan menuruni lereng curam, di stasiun menunggu kereta api batubara, yang pada gilirannya ditempatkan di jalan dan dengan kesulitan diseret oleh lokomotif.

Terhampar lembah yang indah Soempoer, penuh dengan desa-desa dan sawah. Di sebelah kiri kami adalah daerah tertutup, dipotong oleh ngarai dalam, dan sejauh mata memandang kami dapat melihat kopi, ditanam di sekitar rumah. Hujan, hujan terus-menerus telah dimulai, awan merayap sampai ke Merapi dan kabut tebal menutupi sawah, mengelilingi dan menyembunyikan bagian atas pegunungan. Sekarang kami berkendara di sepanjang Danau Singkarak. Kumpulan air terletak tak bergerak dalam cahaya monoton dan suram. Hujan berhenti, tapi kabut menyapu bersih semua kontur dan lansekap, sinar matahari cerah telah berganti kabut, dan tampak mengantuk, gelap dan mematikan sebagaimana pemandangan Eropa utara dalam kabut. Sekitar danau dikelilingi ketinggian, arus air yang kuat telah mengukir batu, dan banyak ngarai tak berujung bercabang ke segala arah. Air dari pegunungan berakumulasi menjadi kerucut puing-puing raksasa, setinggi 50 atau 60 M. dan perlahan-lahan bergerak. Setiap hujan datang aliran pasir dan batu ke arah jalan kereta api dan kemudian kadang-kadang benar-benar tertutup. Sebuah jembatan rendah di atas Sungai Ombilien berada di pintu keluar danau. Air itu indahnya tak tertandingi, biru safir dan sangat bersih. Pada akhir danau kita memasuki sebuah lembah dengan dasar rata dan kemudian lenyap, tanpa sadar naik lagi menuju Solok.

.............

(Fakta menarik dari kutipan diatas: 
1. Padang adalah kota terbesar di Sumatera pada saat itu.
2. Penggambaran pelabuhan Emmahaven persis seperti yang tergambar di video dalam posting sebelumnya. Ini meyakinkan bahwa deskripsi pengarang tentang apa yang dilihatnya dapat diandalkan. 
2. Sungai di daerah Muaro Padang dapat dilayari kapal sampai ke dalamnya. Tidak seperti sekarang...:(
3. Disebutkan ada Rute Padang ke arah Solok melalui Subangpas. Dimana itu Subangpas? Rasanya ndak ada nagari yang bernama itu di jalur tersebut. Apakah salah tulis? Atau si Pengarang salah dengar dari dialek lokal?
4. Hutan di lembah Anai sungguh lebat dan ...menyeramkan!
5. Di lembah Anai terdapat stasiun KA yang berupa cottage. Mungkin itu adalah bangunan setelah air terjun, di sebelah kiri dari arah Padang, yang sekarang tertutup semak belukar lebat. Ambo pernah melihatnya waktu petugas Perumka membersihkannya beberapa tahun yang lalu.
4. Setahun setelah peresmian, jalur KA Lembah Anai dihantam banjir besar. Perbaikannya memerlukan biaya sebesar 600 ribu gulden atau sekitar 3,3 Miliar Rupiah sekarang.
6. Rumah-rumah di Padang Panjang bagus-bagus.
7. Padang Panjang sering hujan setelah tengah hari. Dan setelahnya berkabut.
8. Perlu waktu sampai jam 9 pagi bagi kabut untuk betul-betul lenyap dari Padang Panjang.
9. Bukittinggi banyak tikus dan nyamuk!
10. Di daerah Solok kopi ditanam sampai ke halaman rumah.)

Untuk meanjutkan kebagian 2 silahkan klik disini.

Pernahkah dunsanak membayangkan bahwa di Padang pernah berdiri sebuah monumen terbesar di pulau Sumatera? Jika belum, mari tengok gambar di samping ini. Namanya Michiels Monument atau Monumen Michiels bahasa kitanya.

Monumen ini didirikan pada tahun 1855 di Michielsplein(Lapangan Michiel) atau kira-kira berlokasi di Taman Melati sekarang. Terbuat dari besi tuangan dengan lantai marmer dan full relief di dinding luarnya. Dengan ujung-ujung yang meruncing yang terdiri dari beberapa tingkat, kesan bangunan Eropa kuno tidak bisa ditinggalkan begitu saja.

Berapa tingginya? Ambo belum menemukan referensi yang pasti. Tapi dari foto yang ditampilkan pada cover buku karangan Antropolog Belanda Freek Colombijn, dapat kita bandingkan ketinggian Michielsmonument dengan tinggi dua orang Meneer yang berpose-ria di depannya. Sekitar 8 kali. Jika ketinggian rata-rata orang Belanda pada waktu itu adalah 180 cm, maka ketinggian monumen ini adalah sekitar 14,4 meter atau setinggi gedung 5 lantai kurang lebih. Bisa dibayangkan?

Sebenarnya monumen yang bentuknya mirip seperti Monumen Michiels ini di Hindia Belanda ada 3 buah. Selain di Padang, juga ada di Batavia. Tepatnya di Waterlooplein (Lapangan Waterloo) atau sekarang dikenal dengan Lapangan Banteng. Posisinya kira-kira di sudut timur Mesjid Istiqlal sekarang. Sebagaimana terlihat di foto di samping ini, monumen ini terlihat lebih "gemuk" dibanding yang di Padang. Namanya? Sama. Michiel Monument juga. Dibangun juga pada kisaran tahun yang sama yaitu antara tahun 1853-1855.

Satu lagi berada di Surabaya. Meskipun di Surabaya, tapi namanya Bali Monument. Dibangun pada tahun 1869. Diberi nama Bali Monument karena dibangun untuk memperingati kemenangan Belanda di Bali pada tahun 1849. Sayang setelah mengobrak abrik dunia maya, ambo belum berhasil menemukan satupun fotonya. Posisinya sekarang kira-kira di depan kantor Polwiltabes Surabaya.

Lantas kenapa ada 3 monumen, bahkan 2 dengan nama yang sama? Kalau dirunut ke belakang, monumen-monumen ini mengacu kepada satu orang, yaitu Mayor Jenderal Andries Victor Michiels.

Generaal Majoor ini dianggap berjasa besar kepada pemerintah kolonial Belanda dan mempunyai prestasi yang gilang gemilang di tanah jajahan.

Lahir di Maastricht (Nederland), 23 April 1797, pertama kali mendarat di Jawa pada tahun 1817 dengan pangkat Letnan Satu. Setelah terlibat dalam perang Cirebon dan Diponegoro, pada 1831 ia dipindahkan ke Sumatra Utara. Selanjutnya diangkat menjadi komandan militer untuk Sumatera Barat dengan pangkat Letnan Kolonel. Ia dianggap berjasa dalam menaklukkan perlawanan Tuanku Imam Bonjol.
Atas keberhasilannya tersebut, pada 1837 pangkatnya dinaikkan menjadi Kolonel. Tahun 1838 ia ditugaskan sebagai Gubernur Sipil dan Militer di Sumatra Barat. Pada masa jabatan ini beberapa daerah dapat dikuasainya. Atas jasa-jasanya ini pada tahun 1843 pangkatnya dinaikkan menjadi Mayor Jenderal.

Pada 1849, karirnya semakin menjulang dengan diangkat sebagai Komandan KNIL di Batavia. Ia lalu memimpin ekspedisi menumpas perlawanan di Bali. Ia tewas terbunuh disana pada tahun yang sama dan dimakamkan di pemakaman Kristen Kebon Jahe Kober, Kerkhof Laan (kini Jl Tanah Abang I), Jakarta Pusat. Tempat itu sekarang dikenal dengan nama Museum Taman Prasasti.

Untuk mengenang jasa-jasanya itulah pemerintah kolonial Belanda membangun ketiga monumen tersebut. Sayangnya tidak satupun dari ketiganya yang masih berdiri hingga kini. Berkemungkinan mereka dirobohkan pada zaman penjajahan Jepang atau pada awal-awal kemerdekaan. Tinggallah foto-foto ini sebagai bukti keberadaan Michielsmonument di Padang...

Tahun 1895

















Tahun 1900


















Tahun 1910

















Siti Nurbaya. Legenda cerita rakyat yang mengisahkan tentang jalinan kasih yang tak sampai antara sepasang insan yang berujung pada kawin paksa. Sang pria bernama Syamsul Bahri,
selain berwajah tampan juga berasal dari keturunan orang terpandang. Bapaknya adalah seorang Penghulu yang terpandang, yakni Sutan Mahmud. Si gadis bernama Siti Nurbaya, berparas jelita, berambut panjang bak mayang terurai serta santun budinya anak dari Baginda Sulaiman. Jalinan cinta Siti dan Syamsul sangat direstui oleh kedua orang tuanya yang masih punya hubungan kekerabatan. Sutan Mahmud ayah Syamsul Bahri adalah Mamak Siti Nurbaya.
Setelah menamatkan sekolah tingkat atas, Syamsul Bahri melanjutkan sekolah calon Dokter di pulau Jawa untuk menatap masa depan yang lebih cerah. Tak terbayangkan betapa sedihnya Syamsul Bahri yang harus meninggalkan sang kekasih pujaan hati. Air mata Siti Nurbaya berlinang membasahi pipi disaat melepas kekasih hatinya di pelabuhan Teluk Bayur, dan berharap cepat kembali. Saling berkirim surat cinta adalah pengobat rindu mereka berdua.
Tahun berlalu musim berganti, musibah datang mendera keluarga Siti Nurbaya, usaha dagang ayahnya mengalami kebangkrutan, hingga jatuh miskin dan Baginda Sulaiman akhirnya jatuh sakit. Beliau akhirnya meminjam uang kepada seorang rentenir yang berbadan kurus dan suka beristri banyak bernama Datuk Maringgih. Hutang Baginda Sulaiman akhirnya bertumpuk dan berbunga pada Datuk Maringgih.
Suatu hari Datuk Maringgih pergi kerumah Baginda Sulaiman yang sedang sakit untuk menagih piutangnya. Disanalah Datuk Maringgih terpesona melihat kecantikan Siti Nurbaya. Datuk Maringgih memaksa Baginda Sulaiman untuk menjadikan Siti Nurbaya sebagai istri mudanya kalau ayah Siti Nurbaya tak sanggup untuk membayar hutangnya.
Siti Nurbaya menolaknya, karena dia sudah punya kekasih yakni Syamsul Bahri. Tapi Siti Nurbaya tak berdaya dan akhirnya dipersunting oleh Datuk Maringgih yang berumur sebaya dengan ayahnya. Kabar tersebut sampai ke telinga Syamsul Bahri, hatinya sangat sedih dan mencoba bunuh diri.
Suatu hari Syamsul Bahri pulang ke Padang dan bertemu degan Siti Nurbaya. Datuk Maringih naik pitam dan meyebarkan fitnah yang menyudutkan Syamsul Bahri. Akhirnya ia di usir oleh ayahnya Sutan Mahmud. Syamsul Bahri kembali ke Jakarta, diam-diam ia menyamar jadi tentara kompeni Belanda, dengan nama samaran Letnan Mas.
Datuk Maringgih menjadi benci kepada Siti Nurbaya, puncaknya ia melampiaskan dendamnya dengan memberikan Lemang beracun kepada pesuruhnya untuk diberikan kepada Siti Nurbaya. Siti Nurbaya menemui ajalnya setelah memakan lemang beracun kiriman Datuk Maringgih.

Pada saat tragedi Balesting (Saudagar-saudagar pribumi yang tidak mau membayar upeti/pajak dibawah pimpinan Datuk Mariggih), dikirimlah Letnan Mas oleh Kompeni ke Padang untuk menumpas para pembangkang balesting.
Terjadilah peperangan satu lawan satu antara Letnan Mas dengan Datuk Maringgih. Akhir cerita Letnan Mas yang tak lain adalah Syamsul Bahri tewas di pedang diujung pedang, bersamaan dengan Datuk Maringgih juga roboh terkena tembakan Letnan Mas. 


Banyak wisatawan berkunjung ke Kota Bukit Tinggi, sekitar 93 km utara Padang, Sumatera Barat, bertanya-tanya dan bahkan nyaris tak percaya tentang keberadaan Istana Bung Hatta, yang persis berada di depan Jam Gadang, trade mark-nya Bukit Tinggi. "Saya baru tahu, kalau di Bukittinggi ada Istana Bung Hatta. Apa dan bagaimana keberadaan istana tersebut, saya tidak tahu, kecuali tahu Bung Hatta, sebagai Wakil Presiden. Sejarah hampir tak pernah menyinggung-nyinggung soal keberadaan istana dan ada apa dengan Bung Hatta di Bukit Tinggi," kata Dianti (25), seorang mahasiswi asal Jakarta, Sabtu (3/8) di Bukit Tinggi.
Kenyataan senada juga dikemukakan Sisilia, pelajar SMU asal Medan, Sumatera Utara, yang ditemui secara terpisah di Bukit Tinggi. "Keberadaan Istana Bung Hatta dan peran Bung Hatta di kota kelahirannya, Bukit Tinggi, perlu diperjelas dan dimasukkan dalam pelajaran sejarah, agar semua dan setiap generasi mengetahuinya," ujarnya.
Ketidaktahuan banyak orang, termasuk masyarakat Sumatera Barat sendiri, tentang peran Bung Hatta dan keberadaan Istana Bung Hatta di Bukit Tinggi, bisa dimengerti dan dimaklumi, karena sangat jarang buku-buku sejarah Indonesia menjelaskan hal ini.
"Kita prihatin, banyak hal-hal penting dalam perjuangan bangsa ini yang sengaja dikaburkan bahkan dihilangkan untuk kepentingan rezim Soeharto, penguasa (Orde Baru). Termasuk peran Bung Hatta di Sumatera (Bukit Tinggi)," kata sejarawan Universitas Negeri Padang, Dr Mestika Zed MA. Sesungguhnya, kata Mestika Zed, ketika Hatta berada di Sumatera itulah perjuangan keberdekaan Indonesia memperoleh ciri yang lebih internasional.

Revolusi di Sumatera

Ada dua kasus "revolusi sosial" yang meletus di Aceh dan Sumatera Timur, membuat Bung Hatta sangat tak ingin menunda-nunda lagi kunjungannya ke Sumatera. Karena krisis internal dalam tubuh Republik Indonesia itu mengancam keutuhan integrasi bangsa.
Menurut Mestika Zed, kedua konflik revolusioner itu pada umumnya ditujukan kepada kekuasaan bangsawan setempat. Revolusi di Aceh, yang lebih bercorak Islam ketimbang Marxis, tidak begitu mencemaskan Hatta. Akan tetapi keadaan di Sumatera Timur lebih berbahaya. Soalnya aksi-aksi revolusi sosial di sana jelas-jelas memiliki hubungan langsung dengan kelompok Persatuan Perjuangan pimpinan Tan Malaka, tokoh yang dihormati di Sumatera, termasuk di daerah asalnya sendiri, Minangkabau.
Strategi perjuangan Tan Malaka dan pengikutnya sejak semula menentang keras kebijakan berunding yang diambil pemerintah. Mereka lebih menekankan garis keras lewat perjuangan bersenjata, yang dianggapnya sesuai dengan semangat militansi di kalangan kaum nasionalis di pulau itu. Tetapi selain itu, Hatta juga sangat mencemaskan pecahnya konflik internal di kampung halamannya.
"Semua itu telah menyadarkan Hatta akan tanda-tanda berbahaya perpecahan yang lebih luas dalam kepemimpinan revolusi di daerah asalnya sendiri. Beberapa bulan kemudian Hatta sampai di Sumatera dan tidak lama setelah itu, yakni bulan Juli 1947 Agresi Militer Belanda meletus. Hatta berada di Sumatera sampai menjelang meletusnya Agresi Militer kedua bulan Desember 1948. Selama masa antara dua perang kemerdekaan itulah Hatta bertahan dan memimpin perjuangan di tengah-tengah rakyat Sumatera," kata Mestika Zed.
Bagi Hatta khususnya dan juga bagi sebagian pemimpin di pusat, Sumatera adalah daerah alternatif sekaligus masa depan perjuangan Republik. Mengapa? Kesulitan-kesulitan yang dialami Republik dalam menghadapi Belanda di Jawa, khususnya setelah penandatanganan perundingan Linggarjati, segera menimbulkan spekulasi, bahwa pasukan Belanda, cepat atau lambat, akan terus mendesak dan akhirnya menduduki daerah-daerah strategis di Pulau Jawa.
Karena itu, perjuangan pada gilirannya akan berlangsung dalam pertempuran di pegunungan dan hutan belantara Sumatera. Demikian pentingnya Sumatera di mata Hatta, sehingga suatu waktu di awal Proklamasi Kemerdekaan RI ia pernah mengatakan, "Sumatera boleh jadi lautan api dan tenggelam ke dasar lautan, asal jangan jatuh ke tangan penjajah Belanda."
Menurut Mestika Zed, Hatta berangkat ke Sumatera awal Juni 1947, yakni 10 hari setelah menerima undangan dari KNI Sumatera. Meskipun masih ada yang merasa keberatan dengan rencana kunjungan itu, dengan mengatakan, bahwa di Yogya sedang kekurangan pemimpin dan pekerjaan di Pulau Jawa sangat banyak dan sulit ditinggalkan begitu saja, dan seterusnya, Hatta tidak lagi mau menunda keberangkatannya. Hanya menanggapi datar, tetapi tegas; "Apakah Sumatera itu bukan Indonesia?"
Akhirnya, Hatta berangkat dengan menumpang kereta api sore dari Stasiun Tugu, Yogyakarta, bersama rombongan yang cukup besar jumlahnya. Inilah kunjungan pertama Wakil Presiden RI ke Sumatera.
Sebagai negarawan besar yang dielu-elukan rakyatnya seperti terlihat dari sambutan yang diterimanya di setiap stasiun yang dilewatinya, dia disambut massa rakyat secara spontan dan hangat tanpa perlu dimobilisasi oleh pihak mana pun. Hampir di setiap tempat pemberhentian, Hatta "didaulat" untuk berpidato. Dalam perjalanan, ia harus memikirkan konsep pidatonya yang lebih baru supaya tidak menjadi basi di telingga para pendengarnya.

Mempersatukan Indonesia

Walaupun Hatta punya rumah tempat kelahirannya di Bukit Tinggi, namun selama keberadaannya di Sumatera ia menetap di rumah "Tamu Agung", yang kemudian dikenal Gedung Tri Arga, Wisma Hatta, dan terakhir diubah namanya menjadi Istana Bung Hatta. Istana Bung Hatta merupakan bagunan besar bekas kediaman Asisten Residen Belanda di Bukit Tinggi. Oleh Hatta digunakan sebagai tempat kediamannya dan sekaligus sebagai Istana Wakil Presiden RI di Bukit Tinggi. Dari sana Hatta memimpin perjuangan di Sumatera dan mengadakan pertemuan-pertemuan dengan para pemimpin setempat sambil mempelajari masalah-masalah mendesak yang dihadapi Sumatera umumnya, Sumatera Barat khususnya.
Salah satu prakarsa Hatta terpenting misalnya, mencoba menyatukan sejumlah besar partai dan organisasi sosial yang ada di Minangkabau di bawah satu komando, yaitu melalui apa yang dinamakan Badan Pengawal Nagari dan Kota. Gerakan Badan Pengawal Nagari dan Kota berada di bawah suatu sekretariat bersama yang terdiri dari lima orang tokoh politik terkemuka di Sumatera Barat seperti Hamka, Chatib Sulaiman, Udin, Rasuna Said, dan Karim Halim.
Juga kebijakan Hatta untuk menyatukan kekuatan bersenjata yang terpecah-pecah dan kadangkala saling berbenturan, mendapat sokongan dari militer. Berbagai unit tempur yang saling terpisah di luar jajaran tentara reguler TNI dengan menggabungkan semua laskar-laskar dan tentara reguler di bawah suatu komando bernama Dewan Kelaskaran.
Penggabungan kekuatan yang lebih besar antara unsur sipil yaitu Badan Pengawal Nagari dan Kota dengan jajaran TNI ke dalam suatu komando yang diinginkan Hatta, yakni apa yang disebut Front Nasional, bukanlah ikhtiar sia-sia. Hasilnya sangat dirasakan kemudian dalam menghadapi dua agresi Belanda. Front Nasional memainkan peran cukup penting dalam perjuangan Republik era Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Masih dalam rangka memperbaiki loyalitas lokal terhadap pusat, Hatta dengan berbagai cara juga melakukan reorganisasi pemerintahan sipil. Antara lain dengan memulihkan otonomi lokal melalui kebijaksanaan menghapuskan jabatan residen. Posisi Sub-Gubernur dan Gubernur Hasan untuk seluruh Sumatera juga kurang berfungsi. Kenyataan ini mendorong Hatta untuk menggembalikan bentuk pemerintahan kepada apa yang diperjuangkannya pada awal Proklamasi. Saat itu dalam sidang PPKI usul Hatta agar Sumatera dibagi menjadi tiga provinsi, dengan seorang gubernur sebagai kepalanya, telah ditentang Gubernur Sumatera Mr Teuku Moh Hasan, dan akhirnya ia kalah suara.
Sekitar bulan Mei 1947, ketika masih berada di Bukittinggi Hatta mendapat instruksi Soekarno agar berangkat ke India. Lewat jasa Biju Patnaik, seorang tokoh nasionalis India yang bersimpati dengan revolusi Indonesia, yang singgah di Bukittinggi dari perjalanan mengunjungi Yogya dan diminta untuk membicarakan bantuan senjata dari India. Hatta kembali ke Sumatera (Bukit Tinggi) sekitar pertengahan Juli 1947, tetapi misinya untuk mendapatkan senjata, karena berbagai alasan, tidak berhasil.
Hatta kembali meneruskan perjalanan keliling yang terganggu sebelumnya, seperti ke Tapanuli dan Sumatera Timur. Akan tetapi, sampai di Pematang Siantar, yang baru saja menjadi Ibu Kota Provinsi Sumatera, hampir jatuh ke tangan Belanda. Hatta dan Gubernur Teuku Moh Hasan tidak memiliki banyak pilihan, kecuali mundur dan kembali ke Bukit Tinggi, yang sejak awal Proklamasi tetap berada di luar orbit kekuasaan Belanda.
Hatta dan rombongan, baru sampai di Bukit Tinggi pada tanggal 29 Juli 1947. Kota itu segera menjadi penuh sesak. Sebelum perang penduduknya hanya sekitar 15.000 jiwa dan sesudah bulan Juli itu melonjak hampir mencapai 100.000. Soal perumahan yang sudah sulit menjadi semakin sulit, tetapi Kota Bukit Tinggi justru menjadi semakin penting kedudukannya. Bukan saja karena statusnya sebagai ibu kota Sumatera yang baru, melainkan juga tempat kedudukan Markas Besar Komandemen TNI Sumatera.

Pusat Perjuangan Pasca Agresi Belanda

Pada saat Jawa semakin terdesak akibat Agresi Militer Belanda I, di samping "terkepung" oleh kontrol blokade ekonomi Belanda yang semakin ketat, Sumatera tampil sebagai daerah alternatif dan memiliki ruang gerak yang relatif bebas dalam meneruskan perjuangan kemerdekaan. Kesempatan ini telah digunakan Hatta dengan sebaik-baiknya.
Hatta baru kembali ke Jawa tanggal 5 Februari 1948, setelah dijemput langsung oleh sejumlah pemimpin pusat, termasuk di antaranya Perdana Menteri Amir Sjarifuddin, Syahrir, Zaenal Baharuddin (tokoh pemuda), dan Prawato (Masyumi), menyusul diterimanya oleh Pemerintah Persetujuan Renville.
Untuk melepas Hatta, digelar suatu rapat besar di lapangan Kantin, di pusat Kota Bukittinggi. Tampil ke podium tiga tokoh pembicara secara berganti-ganti. Hatta berpidato pada giliran yang pertama, untuk mengucapkan pidato perpisahan dengan rakyat Sumatera Barat. Pidato Hatta singkat saja, inilah kutipannya:
"Bahwa Perjanjian Renville hanyalah satu mata rantai dalam perjuangan kita yang panjang. Ada orang yang mengatakan kita kalah. Tetapi aku peringatkan, bahwa bangsa yang kalah ialah bangsa yang mengaku kalah. Perjuangan kita teruskan dengan berbagai risikonya. Kita sudah diterima mempertahankan kemerdekaan kita dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sebab itu, Republik Indonesia tidak lagi bisa dihapuskan dari peta dunia."
Sejarawan Mestika Zed menjelaskan, Audrey Kahin dalam kajiannya tentang revolusi di Sumatera Barat, melihat kehadiran Hatta di tanah kelahirannya itu sebagai agen utama yang menjamin subordinasi isu lokal terhadap isu nasional.